Bidadari Tanpa Kepala & Para Pembangkang
Posisi perempuan dalam industri musik sulit lepas dari imej serba glamor & gemerlap. Namun beberapa tahun silam, tepatnya pada 2005, muncul seorang penyanyi perempuan Indonesia, TIKA namanya, yang menantang norma pasar dengan mengusung musik gelap dan dingin melalui album "Frozen Love Songs" (2005) – yang dikemas ulang dengan judul "Defrosted Love Songs" (2006). Banyak yang mempertanyakan mengapa seorang penyanyi dengan kualitas vokal kelas satu seperti TIKA memilih jalur independen – yang konon tak seberapa komersil? Hanya TIKA yang tau jawabannya. Yang pasti ia telah mendobrak klise Diva di Indonesia dan memahat reputasi sebagai salah satu penyanyi perempuan paling berbahaya di masanya.
Namun, kemudian TIKA menghilang begitu saja dari kancah musik. Kemana ia menghilang dan apa kabarnya TIKA? Setelah hibernasi panjangnya, kini TIKA telah kembali dengan album terbarunya yang bertajuk "The Headless Songstress" (2009).
Kali ini TIKA tidak sendirian lagi. Ia menggandeng tiga musisi yang dibaptis dengan nama "the Dissidents" sebagai partnernya dalam album "The Headless Songstress". “Sekarang tidak memakai nama TIKA lagi, tapi berubah jadi TIKA & the Dissidents,” ia menjelaskan. Mereka adalah Susan Agiwitanto (bas), Okky Rahman Oktavian (dram), dan Luky Annash (piano).
The Dissidents pula lah yang turut berperan atas perubahan musik TIKA yang melompat jauh dari karya-karya sebelumnya. “Kira-kira 60% materi album ini dibuat TIKA bersama-sama dengan the Dissidents,” tutur Susan. Bahkan kali ini TIKA yang dikenal dengan akrobat vokalnya, memilih bernyanyi lebih santai untuk mengimbangi the Dissidents. Dua gitaris dari kubu jazz dan postrock juga digamit TIKA untuk memproduseri album ini; Iman Fattah (gitaris Zeke & the Popo) dan Nikita Dompas gitaris jazz muda berbakat. Mereka-lah yang membungkus lagu-lagu TIKA & the Dissidents menjadi sebuah paket musik yang kaya bumbu dalam album "The Headless Songstress".
Namun yang paling drastis berubah adalah lirik yang ditulis TIKA untuk album ini. Apabila dulu ia dikenal dengan lirik galaunya, kali ini TIKA banyak melempar kritik sosial dengan sarkasme yang nakal namun tajam. Di lagu "Polpot" misalnya, TIKA mengangkat pembantaian intelektualitas massal oleh televisi. Di lagu "Red Red Cabaret", ia menyentil polah selebriti yang haus ketenaran. Lagu "Clausmophobia" menyindir kemunafikan masyarakat menyikapi homoseksualitas. Dan tentu yang paling jelas terasa adalah lagu "Mayday" yang bertema hari buruh.
“Secara pribadi, ini bukan perubahan besar,” ujar TIKA. “Tema-tema ini sudah menjadi keter-tarikan saya sejak remaja. Kalau lirik di album yang dulu galau, itu karena saat itu hidup saya memang sedang galau saja,” aku perempuan yang sejak kuliah aktif mendukung gerakan literasi, liberasi gender, dan gerakan swadaya atau DIY (do it yourself).
Saat ditanya soal genre musik album "The Headless Songstress", baik TIKA, anggota the Dissidents, maupun kedua produser merasa tidak ada satu genre yang bisa mewakilli seluruh lagu di dalamnya. Adanya unsur jazz, rock, blues, hingga tango dan waltz membuat album ini sulit dikotakkan. Ditambah lagi dengan keterlibatan banyak musisi tamu seperti Anda, Riza Arsyad (simakdialog), Adrian Adioetomo, dan banyak lagi. “"The Headless Songstress" ibarat sebuah karnaval setelah tutup di malam hari. Menyenangkan tapi menyeramkan.” ungkap Nikita Dompas, mendeskripsikan album ini. “Saya percaya album ini dapat menjadi salah satu album lokal yang paling unik yang pernah ada”, tambah Iman Fattah.
Sedangkan TIKA, apa harapannya akan album terbarunya sendiri? “Ini bukan album instan. Musiknya pun perlu waktu untuk dicerna. Tapi saat orang sungguh-sungguh mencernanya, semoga dapat memprovokasi telinga dan pikiran pendengarnya. Membuat perubahan yang meski kecil namun berarti.”
Siapkah pasar Indonesia dengan konsep musik seperti ini? Mari kita lihat sambil menikmati karnaval provokatif TIKA & the Dissidents dalam album "The Headless Songstress". (jurnallica.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar