Bagi saya, ben 'bagus' itu adalah ben yang esensial. Bagi sebagaian orang, arti ben bagus akan bervarian maknanya. Padanan kata 'bagus' seolah mengerucutkan asumsi pada ranah subjektif. Namun ben bagus bagi saya juga tak berlaku lantaran sering diputar radio, rajin masuk tv, atau mendapat rating RBT yang tinggi. Kami tidak memakai gaya bahasa pasar dalam hal ini.
Untuk mencapai derajat yang dimaksud, memang tak semudah membalikkan telapak tangan – bahkan membolak-balikkan otak pun belum jaminan. Masa transisi sebagai proses pembentukan karakter. Dan lagi, nilai bagus tak sekedar musikal saja namun juga mengetahui kultur genre itu sendiri.
Sebagai negara berkembang, Indonesia tak banyak memiliki musisi/grup berkonsep orisinil. Justru sebaliknya, kita banyak mengadopsi kultur musik. Secara hakiki manusia, pengaruh memang tak bisa dipungkiri. Namun, bukan berarti harus mutlak menjiplak.
Begitupun di ranah Grunge lokal, pengadopsian kultur Seattle Sound yang kami amati di sini tak banyak menemukan progres yang signifikan. Apalagi sejak kematian misterius Kurt Cobain (Nirvana) hanya menjadi panutan mentok. Dari itu semua, NAVICULA adalah pengecualian. Ada cita rasa yang berbeda dari label Green Grunge Gentleman ini. Mulai dari musik, lirik, ideologi, live performance, mereka punya semua. Kami seperti mendapat paket istimewa. Layaknya rokok, aroma grunge pyschedelic asal pulau dewata ini terasa elektik. Atau, jangan-jangan yang kami hisap ini adalah ganja??? Whoaaa...
Belum lama ini, Navicula yang berjemaah Robi (vokal & gitar), Danki (gitar), Made (bas), Gembull (dram) merampungkan padakarya-tama (baca: album) yang ke-6 bertajuk "Salto". Manuver jungkir balik, gerakan berputar 360 derajat dipakai sebagai titel album, merujuk pada siklus penuh Navicula yang telah koprol-kayang-centang perenang sejak 1996. Plus, hasrat menggarap album termutakhir ini nyala semangat setara gigantiknya seperti ketika menggarap album perdana.
Rentetan tur & live berkelanjutan sesudah-nya, merantau dari satu panggung ke panggung lainnya. Hingga pada titik momen kami menyudahi niatan wawancara. Kesempatan yang sudah kami tunggu sejak lama. Maka, kalian para hulubalang grunge, kini sambutlah Navicula...
Green Grunge Gentleman datang, salto, dan menang!
VIDEO
●“Over Konsumsi” [feat. Oppie Andaresta]
(click the pic for play)
Wawancara dengan Robi (R)
1) Sebelumnya, selamat atas lahirnya album terbaru Navicula, “Salto”. Menurut kalian, apa yang paling signifikan di album ini dibanding rilisan-rilisan sebelumnya? Dan kenapa diberi titel “Salto”. Apa filosofi dari nama tersebut?
R: Thanks bro atas ucapan selamatnya. Yang paling signifikan, album ini lebih melodius dibanding album-album sebelumnya. Tapi karakter Navicula-nya masih tetap kita jaga. Nama yang kita pilih, Salto, sebagai judul album karena entah kenapa, nama itu ear-catching banget menurut kita selain salto (gerakan berputar 360 derajat) merupakan simbol dari satu siklus penuh kita nge-band bersama dan kembali merasakan rasa yang sama seperti saat baru pertama kali rekaman dulu.
2) Bagaimana tur album “Salto” kemarin, bisa ceritakn suka-dukanya? Hey! manajer kalian itu kan orang bule, Lakota. Kenapa ngga berencana tur ke luar negri (minimal negara asal Lakota)? Sejauh ini, pernah dapat respon dari pihak luar (negri) mana saja? (Tapi bukan orang-orang bule yang tinggal di Bali ya hehehe… )
R: Lebih banyak sukanya sih karena kita menikmati benar saat-saat di jalan kemaren. Di Bali, karena masing-masing sudah pada sibuk, kita ngumpulnya pas latihan atau manggung doang. Tapi pas di jalan kita ngumpul di sebagian besar waktu. Banyak sekali ide-ide segar muncul pas lagi bersama. Saya pikir itulah asiknya nge-band. Ada sih rencana tur ke luar negeri, tapi kita tunggu aja timing dan gig yang pas, biar nggak nyusahin pas di jalan nantinya karena kantong kita pas-pasan banget.
Kalo di Bali, banyak fans kita memang orang asing karena Bali sendiri emang melting pot (tempat berkumpulnya banyak budaya). Interaksi ini pula yang banyak mempengaruhi karya-karya kita. Kalo langsung dari luar, kayaknya nggak banyak sih karena hanya berhubungan lewat internet atau dia itu temannya fans kita yang dari luar juga (jadi dia recommend kita ke temennya pas balik ke negaranya). Umumnya banyak yang suka sama kita saat pernah nonton live.
3) Kenapa proses mixing album “Salto” sampai jauh-jauh di Palu Studio, Jakarta. Apa infrastruktur di Bali kurang memadai?
R: Di Bali ada sih tempat mixing yang memadai tapi kebetulan sama orang-orang Palu Studio seperti Bang Pay, Dewiq, Pandu, dan Mas Henk, udah teman dekat kita sejak lama. Mereka kalau ke Bali sering hang out bareng kita. So lebih asik teman yang garap mixing-nya kan? Kebetulan Mas Henk (a.k.a Heru) sudah pernah tur bareng kita di 8 kota tahun lalu bareng Netral. Jadi dia sudah tahu warna musik kita dan beberapa lagu baru di album Salto. Kita juga suka orang yang mixing tahu kalau kita live seperti apa.
4) Pada penggarapan album “Salto”, kalian masih bertahan di jalur indie (baca: independen), setelah “Beautiful Rebel” (2007). Namun saya teringat ucapan Robi sewaktu di gig “Grunge Gods 2”, bahwa kalian masih mengharapkan para investor (baik yang halal maupun yang haram). Artinya, meski kalian berada di garis label indie, kalian masih bermental ketergantungan tuh. Jauh dari esensi independensi yang memiliki nilai mandiri/merdeka dengan etos kerja DIY (Do It Yourself). Kalo gitu, kalian Major ato Indie sama aja dong?!
R: Hahaha…itu hanya joke aja di atas panggung, satir bahwa band indie seperti kita emang harus perlu dukungan sponsor untuk bisa survive (rekaman, rilis album, tur, dll). Memang saat ini batasan major dan indie sudah kurang penting lagi, yang lebih penting adalah deal-nya. Sepanjang deal itu tidak merusak ranah artistik dan idealisme seniman, saya pikir nggak ada masalah. Selama ini ketergantungan sih nggak pernah karena kita kurang suka dengan hubungan yang vertikal. Kita lebih tertarik bekerjasama (hubungan sejajar/horizontal).
5) Lantas apa yang membuat kalian lepas dari label major (Sony) setelah album “Alkemis” (2005)? Bukankah sebagai ben daerah, itu membantu distribusi/ promosi kalian? Atau memang major terlalu banyak pihak campur tangan?
R: Mungkin timing kita yang kurang pas aja waktu dipegang sama mereka sehingga ada banyak sekali ketidakselarasan visi. Tahu sendiri kan kalau major orientasinya jualan doang dan mengesampingkan artist maintenance & development. Ya nggak salah sih, dimana-mana perusahan selalu profit oriented. Sedangkan kita saat itu adalah pure seniman naif yang hanya pengen berkarya saja tanpa peduli dengan intrik politik di bisnis musik. Tapi ada untungnya juga kita pernah mengenyam pengalaman itu karena kini kita jadi lebih paham industri itu mainnya gimana. Melihat kondisi saat ini mungkin kita lebih nyaman dengan posisi kita sekarang. Masih bisa tetap berkarya dengan mempertahankan idealisme dan bebas memainkan musik yang kita suka.
6) Sebagai ben asal Bali, apa kalian merasa ada sentralisme dalam permusikan Indonesia? Buat kalian, perlu ngga mendapat simpatik dari media-media?
R: Yah tentulah ada sentralisme. Jakarta masih tetap menjadi barometer musik nasional. Saya ulangi: nasional. Karena pusat media (cetak, TV, dll) ada di Jakarta sebagian besarnya. Tapi untuk internasional mungkin belum tentu. Pelukis-pelukis hebat dari Jogja banyak yang tenar di luar negeri. Bahkan saya dengar-dengar gosipnya lukisan mahal saat ini untuk standar dunia, pelukis Jogja mendapat peringkat kedua setelah Cina. Entah itu benar, namanya juga gosip. Begitu pula dengan Bali, sebagai gerbang internasional, arus informasi internasionalnya jelas lebih cepat dan langsung. Apa yang umumnya dianggap super keren di Jakarta sebagi trendsetter nasional mungkin dianggap biasa saja di beberapa komunitas di Bali, terutama komunitas mix/campur, seniman, dan surfer. Tapi tetap tak bisa dipungkiri bahwa Jakarta adalah pengaruh yang paling kuat untuk trend nasional, termasuk trend musiknya. Media jelas merupakan elemen penting dalam scene. Media musik yang baik adalah media yang objektif, mengerti, dan punya taste yang bagus terhadap musik. Simpati yang jujur akan mengarah pada karya seni yang bermutu.
7) Sedikit mengutip pernyataan dalam press rilis “Salto”; “Kita kaum oposisi yang ingin memberi warna alternatif pada industri musik mainstream lokal.” Apa ini semacam statemen tantangan? Lalu apa yang merasa kalian sebagai “warna alternatif”?
R: Kita dulu pernah mencoba di jalur mainstream sampai akhirnya kita sadar bahwa ternyata kita ini minoritas. Saat kita melakukan maping/pemetaan ternyata yang menggemari karya kita adalah orang-orang dari flinch culture (budaya tandingan). Ya udah, kita nggak akan memaksa orang kebanyakan untuk suka pada apa yang kita buat. Take it or leave it. Kita juga nggak akan berpura-pura, membuat sesuatu yang kita nggak suka asal laku. Kita memilih bermain seks dengan pasangan yang kita cintai.
Kalau melihat musik yang saat ini banyak dipasang di TV dan memenuhi airplay radio, pastilah paham kalau konsep musik dan lirik kita secara keseluruhan merupakan suatu alternatif/pilihan lain.
“Batasan major dan indie sudah kurang penting lagi, yang lebih penting adalah deal-nya.”
8) Pada genre Punk terus mengalami evolusi sejak kelahirannya hingga saat kini. Dari jamannya “Punk Rock” sampe sekarang muncul istilah “Pop Punk”, or whatever they call it. (Meski akhirnya menjadi pasar musik baru. ) Lalu, menurut kalian, apa genre Grunge itu sendiri perlu di-evolusikan? Kita melihat sampe sekarang fenomena Grunge di sini masih di-indentikkan dengan Kurt Cobain/Nirvana-isme atau Perl Jam-isme dan buat saya itu sangat menyedihkan.
R: Saya setuju kalau musik tetap berevolusi. Tapi saya juga melihat, sama kayak fashion, trend musik juga mengalami retro/pengulangan trend. Seperti misalnya apa yang kebanyakan dimainkan di era puncak grunge/90-an merupakan trend rock era 70-an yang, sebut saja, diwakili Black Sabbath (metal) atau The Ramones (punk). Nggak mustahil trend 2010 mungkin retro dari 90-an. Maybe man, tomorrow is mistery. Memang saya pribadi kurang suka dengan sengaja mengotak-kotakkan musik, yah…nama grunge kan dibuat oleh media juga, bro. Let it flows. Tapi saya menyadari kalau warna ‘grunge/Seattle-sound’ memberi pengaruh yang sangat kuat pada Navicula, walaupun sebenarnya kita nggak mau terperangkap pada satu genre. Mengenai ikon, yaaah…nggak bisa disalahin sih. Mungkin karena kedua nama tadi (Nirvana dan Pearl Jam) jadi wakil di eranya. Sama seperti begitu mengangkat topik psychedelic rock, imajinasi saya otomatis mengarah ke Hendrix atau Grateful Dead. Tapi menurut pengamatan saya, masa trend saat ini semakin singkat dan cepat berubah, disamping itu jumlah kaum hipster yang cenderung menghindari trend (berslogan: I’m different…like somebody else!) juga semakin meningkat.
9) Seberapa penting nilai kejujuran dalam bekarya buat kalian? (Mengingat banyak musisi yang berkompromi atas nama pasar.)
R: Wah…selama ini sih penting banget menurut kita. Kita maen musik atas dasar emang suka musik. Saya nyari duitnya di luar musik, bro. Kalo toh musik itu bisa menghasilkan dari segi finansial, ya mungkin itu hanya efek samping aja dari passion kita tadi. Saat ini musik membiayai musik aja saya pribadi udah syukur, bro. Karena meski nggak ada duit pun saya akan tetap menikmati musik.
10) Banyak yang bilang kalau ben idealis di sini (Indonesia) tuh susah “maju”. Bagaimana kalian menanggapi pernyataan tesebut?
R: Maju apa dulu nih? Kalao ‘maju’ itu didefinisikan sebagai ‘kaya’ mungkin emang benar. Jangankan yang idealis, banyak yang obral pantat buat disodomi oleh pasar pun belum tentu ‘maju’. Tapi kalau ‘maju’ itu diartikan sebagai ‘eksis bermusik’, atau ‘kemajuan skill’ atau ‘mendapat predikat cool’, wah…kayaknya beberapa band idealis udah pada ‘maju’, bro.
11) Selain muatan lirik bertema “hijau”, saya merasa ada bobot spiritual yang cukup kuat di lagu-lagu Navicula. Apa yang kalian lakukan/aplikasi dari lirik-lirik kalian tersebut? Atau mungkin, Navicula tergolong jemaah yang soleh, hahaha…
R: Hahaha…mungkin juga nih. Gara-gara cita-cita jadi kiai nggak kesampaian kali. Akhirnya berdakwah lewat rock. In Rock n’ Roll we trust, hehehe.
12) Di album “Salto” ada satu lagu, “Budi si Berani Mati” mengenai bom bunuh diri di Bali beberapa tahun lalu. Dan belum lama ini, Indonesia kembali digemparkan peristiwa serupa di JW Marriott & Ritz Carlton, Jakarta. Apa kalian mengutuk perbuatan tersebut? (Yeah, we said big fukk off to all bom-suiciders!!!)
R: Ohh…kita justru mendukung bro, buat mengontrol populasi…hehehe kidding. Ya jelas ultra nggak setuju lah! Orang sakit jiwa yang ingin masuk surga dengan cara bunuh orang lain. Fantasi saya, si Budi bakal dicincang rame-rame sama korban yang dia bom di purgatory, sebelum masuk pengadilan arwah hehehe… Kebanyakan nonton film takhayul!
13) Seandainya Bali berpisah dari Indonesia dan menjadi negara tunggal, apa tanggapan kalian? (Bila setuju, katakan saja lah! Di sini fair kok hehehe…)
R: Wah, jujur saya ini nasionalis yang mendukung puspa warna manunggal Bhinneka Tunggal Ika, brur. Kalau Indonesia seandainya berubah jadi beberapa negara bagian itu lain soal. Tapi kalau masih negara kesatuan RI, yaa sebaiknya tetap bersatu aja… Asal orang-orang pusat jangan terlalu serakah lah sama daerah.
14) Lagu “Menghitung Mundur” adalah single singgungan mengenai rumor kiamat 2012. Seandainya tahun tersebut benar-benar terjadi kiamat, apa yang akan kalian persiapkan?
R: Yaa itu…reff lagu ini: “Buka…mata…hatimu…”. Yaaah membuka mata hati aja, kesadaran jiwa…pasrah dan ikhlas. Kalau jadi survivor sendirian sementara yang lain udah modar dan semua sumber daya udah hangus, itu lebih sial lagi kayaknya hehehe. Jadi, yaaah duduk manis sambil menyaksikan pesta kembang api meteor paling spektakuler yang pernah ada.
15) Hormat kami atas jawabannya. Ada yang ingin ditambahkan…? Kami persilahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar