Jumat, 19 Agustus 2011

Album Mini Siksakubur Mendatang Bercerita Tentang Seorang Yahudi


Andre Tiranda menulis sendiri fiksi yang mendasari konsep mini album Siksakubur mendatang.

Siksakubur (Foto: edoyism.blogspot.com)
Telah diberitakan sebelumnya bahwa band death metal ternama asal Jakarta Timur, Siksakubur, sudah mulai menggarap materi album mini sebagai tindak lanjut dari Tentara Merah Darah yang dirilis 2010 lalu. Album mini tersebut diakui oleh gitaris Andre Tiranda juga untuk memperkenalkan dua personel baru, yakni vokalis Asep (eks-Distrust) dan pemain drum Aditya Perkasa (eks-Funeral Inception).

Menurut Andre, album yang kini baru sampai pada “tahap musik, tapi lirik sudah buat bagannya” itu akan berisi sekitar lima atau enam lagu. Kepada Rolling Stone ia membocorkan judul mini album tersebut nanti yang menurutnya sudah tidak akan berubah lagi.

“Judul EP-nya adalah Ben,” cetus Andre saat kembali kami hubungi melalui Yahoo! Messenger pada Selasa [9/8]. “This is a story about a man name Ben. Gue udah lama pengen buat album pakai nama orang. The story about a Jew. Fiksi, cerita buatan gue. Hahaha.”

Andre yang menulis semua lirik lagu sendirian pasca ditinggal vokalis lama Japra menjelaskan, motivasi Siksakubur dalam membuat konsep album yang berdasar pada kisah fiksi buatan sendiri lantaran tak ingin menjadi stereotipikal. Menurut Andre semenjak Siksakubur merilis Tentara Merah Darah yang mengadopsi kisah film tentang Pertempuran Thermopylae, 300, bermunculan lah band-band metal di tanah air yang menggunakan konsep serupa untuk albumnya.

“Dead Vertical juga buat dari film, Panic Disorder juga buat dari film. Kayaknya kok jadi stereotype, ya? Makanya gue bikin cerita fiksi. Supaya lebih bebas dan nggak mengulang Tentara Merah Darah. Tetap album konsep dan secara musikalitas lebih fresh lah,” papar Andre.

Ketika ditanya kenapa mengeluarkan album mini terlebih dahulu dan bukan langsung album penuh, Andre memberikan alasan sederhana. “Karena Siksakubur belum pernah ngeluarin EP,” katanya dan kemudian melanjutkan, “Untuk para kolektor EP tuh penting lho. Dan kayaknya semua band dunia punya EP. Makanya kami buat EP.”

Daftar Konser Artis Internasional di Indonesia Hingga 2012




Beberapa waktu ke depan akan menjadi badai konser paling besar dan paling panjang dalam sejarah pertunjukan artis-artis internasional di tanahair. Tidak pernah terjadi di tahun-tahun sebelumnya, Jakarta dan sekitarnya menjadi sangat sibuk dengan berbagai agenda konser artis internasional seperti saat sekarang ini. Semuanya beruntun dan bahkan ada yang berjarak sehari saja.

Hingga akhir tahun ini saja para penggemar musik di Indonesia akan dipaksa untuk merogoh kocek mereka dalam-dalam dan menahan diri untuk berbelanja gila-gilaan di libur lebaran nanti. Sebagian gaji, THR, jika tidak ingin semuanya, akan disimpan baik-baik untuk membeli tiket konser artis idola yang sebagian besar di antaranya telah ditunggu sejak bertahun-tahun, bahkan ada yang puluhan tahun!

Yang menyenangkan jika melihat daftar nama para artis yang akan datang ini maka semua generasi dan jenis kelamin sepertinya akan dilayani dengan adil. Tak hanya artis bagi generasi ”ababil” yang akan tampil, namun juga artis legendaris yang meninggalkan kenangan manis bagi mereka yang besar di dekade 70an, 80an dan 90an akan terhibur sempurna.

Berikut agenda konser di Jakarta dan sekitarnya yang berhasil dihimpun oleh Rolling Stone. Silakan dipilih dengan bijaksana dan dipertimbangkan masak-masak artis siapa saja yang akan Anda tonton. Tak perlu bersedih karena badai konser belum akan berlalu, kami masih menyimpan informasi tentang badai konser yang sangat besar akan datang mengguncang setelah lebaran nanti.

Selamat terhibur dan menikmati kebangkrutan...


1. Paramore (Showmaxx Entertainment)
Tanggal : Rabu, 17 Agustus 2011 (Bali) dan Jumat, 19 Agustus 2011 (Jakarta)
Venue : Pantai Karnaval, Ancol (Jakarta) dan Garuda Wisnu Kencana (Bali)
Tiket : Festival A Bali (Rp 600,000), festival B Bali (Rp 400,000), festival A Jakarta (Rp 700,000), festival B Jakarta (Rp 500,000)

2. Empire of the Sun (Ismaya Live)
Tanggal : Jumat, 19 Agustus 2011
Venue : Potato Head Beach Club, Bali
Tiket : Presale (Rp 650,000), normal (Rp 800,000)

3. The Casualties (A&D Production)
Tanggal : Sabtu, 17 September 2011
Venue : Bulungan Outdoor
Tiket : Presale 1 (Rp 35,000), presale 2 (Rp 55,000), normal (Rp 80,000)

4. Rock in Solo 2011 with Death Angel, Kataklysm, Deranged, Enforce, Ishtar, Oathean (the ThiNK dan TECMA Advertising)
Tangga : Sabtu, 17 September 2011
Venue : Alun-Alun Lor, Solo
Tiket : Presale 1 (Rp 50,000), presale 2 (Rp 75,000), presale 3 (Rp 100,000), on the spot (Rp 150,000)

5. Alesana dan Set Your Goals (Lian Mipro)
Tanggal : Sabtu, 17 September 2011
Venue : Tennis Indoor Senayan
Tiket : Festival presale 1 (Rp 275,000), tribun presale 1 (Rp 250,000), festival presale 2 (Rp 300,000), tribun presale 2 (Rp 275,000), festival presale 3 (Rp 325,000), tribun presale 3 (Rp 300,000), tribun on the spot (Rp 325,000), festival on the spot (Rp 350,000)

6. Suicide Silence (Lian Mipro)
Tanggal : Minggu, 18 September 2011
Venue : Tennis Indoor Senayan
Tiket : Festival presale (Rp 300,000), tribun presale (Rp 275,000)

7. Big Wave 2011 with Bad Religion, Panic! At the Disco, Yellowcard (Big Daddy Entertainment Group)
Tanggal : Selasa, 20 September 2011
Venue : Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan
Tiket : Yellow (Rp 600,000), Blue (Rp 500,000), festival (Rp 450,000), upper tribune (Rp 200,000)

8. Linkin Park (Big Daddy Entertainment Group)
Tanggal : Rabu, 21 September 2011
Venue : Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan
Tiket : VVIP (Rp 4,000,000), Lower Floor – Yellow (Rp 2,500,000), Lower Floor – Blue (Rp 1,900,000), Festival (Rp 1,200,000), Lower Floor – Green (Rp 1,000,000), Upper Floor – Purple (Rp 750,000), dan Upper Floor – Orange (Rp 550,000)

9. Java Soulnation Festival (Java Festival Production)
Tanggal : Jumat, 23 September 2011 – Minggu, 25 September 2011
Venue : Istora Senayan
Tiket : Daily presale (Rp 180,000), daily normal (Rp 350,000), 3-day pass presale (Rp 370,000), 3-day pass normal (Rp 980,000)

10. Sami Yusuf (ORRCA Entertainment)
Tanggal : Rabu, 28 September 2011
Venue : Kartika Expo, Balai Kartini
Tiket : Red (Rp 825,000), blue (Rp 605,000), green (Rp 440,000)

11. Obscura (Cynical Sounds)
Tanggal : Rabu, 28 September 2011 (Bandung), Jumat, 30 September 2011 (Surabaya), Sabtu, 1 September 2011 (Makassar), Minggu, 2 Oktober 2011 (Jakarta)
Venue : Mario’s Place, Cikini
Tiket : Presale (Rp 100,000), on the spot (Rp 125,000)

12. Lenka (MP Entertainment)
Tanggal : Rabu, 5 Oktober 2011
Venue : Gandaria City
Tiket : Presale (Rp 350,000)

13. Westlife (Marygops Studio)
Tanggal : Rabu, 5 Oktober 2011
Venue : Tennis Indoor Senayan
Tiket : Festival (Rp 750,000), tribun 1 (Rp 675,000), tribun 2 (Rp 600,000)

14. Story of the Year (Revision Entertainment)
Tanggal : Rabu, 5 Oktober 2011 (Makassar) dan Kamis, 6 Oktober 2011 (Jakarta)
Venue : Plaza Selatan Senayan (Jakarta)
Tiket : Presale Jakarta 1 (Rp 100,000), presale Jakarta 2, (Rp 150,000), on the spot Jakarta (Rp 200,000)

15. SUM 41 (Grand Master Entertainment)
Tanggal : Kamis, 6 Oktober 2011 (Jakarta) dan Selasa, 18 Oktober 2011 (Bali)
Venue : Lapangan D Senayan (Jakarta) dan Hard Rock Cafe (Bali)
Tiket : Presale festival A Jakarta (Rp 225,000), presale festival B Jakarta (Rp 125,000)

16. Everytime I Die dan The Acacia Strain (Lian Mipro)
Tanggal : Jumat, 7 Oktober 2011
Venue : Bulungan Outdoor
Tiket : Presale 1 (Rp 150,000)

17. Motley Crue (MLive)
Tanggal : Sabtu, 8 Oktober 2011
Venue : Pantai Karnaval, Ancol
Tiket : TBA

18. 50 Cent (Indika Productions)
Tanggal : Sabtu, 8 Oktober 2011
Venue : Epicentrum, Kuningan, Jakarta
Tiket : Festival B Rp. 500.000 & Festival A Rp. 700.000

19. Level 42 (Original Production)
Tanggal : Selasa, 11 Oktober 2011 (Jakarta) dan Kamis, 13 Oktober 2011 (Surabaya)
Venue : Ballroom Gran Melia Hotel (Jakarta) dan Ballroom JW Marriott Hotel (Surabaya)
Tikeet : Presale platinum Jakarta (Rp 1,000,000), presale gold Jakarta (Rp 600,000), presale silver Jakarta (Rp 350,000), normal platinum Jakarta (Rp 1,250,000), normal gold Jakarta (Rp 750,000), normal silver Jakarta (Rp 450,000), presale diamond Surabaya (Rp 1,200,000), presale platinum Surabaya (Rp 600,000), presale gold Surabaya (Rp 450,000), presale silver Surabaya (Rp 300,000), normal diamond Surabaya (Rp 1,500,000), normal platinum Surabaya (Rp 750,000), normal gold Surabaya (Rp 550,000), normal silver Surabaya (Rp 350,000)

20. Richard Marx (Big Daddy Entertainment Group)
Tanggal : Selasa, 25 Oktober 2011
Venue : Gandaria City
Tiket : TBA

21. Owl City (Java Musikindo)
Tanggal : Jumat, 28 Oktober 2011
Venue : Tennis Indoor Senayan
Tiket : Sold out

22. David Foster with Charice, Michael Bolton, Philip Bailey, etc. (BlackRock Entertainment)
Tanggal : Jumat, 28 Oktober 2011
Venue : Plenary Hall, Jakarta Convention Center
Tiket : Tribun samping (Rp 900,000), tribun tengah (Rp 1,500,000), silver (Rp 2,500,000), gold (Rp 4,000,000), platinum (Rp 6,000,000)

23. Guinness Arthur’s Day 2011 with The Script dan Mr. Big (TBC) (Guinness)
Tanggal : Sabtu, 12 November 2011
Venue : Central Park, Jakarta
Tiket : TBA

24. Children of Bodom (ShowNation)
Tanggal : Selasa, 15 November 2011
Venue : Hall A Basket Senayan
Tiket : Presale tribune 1 (Rp 170,000), presale festival 1 (Rp 200,000), presale tribune 2 (Rp 225,000), presale festival 2 (Rp 260,000), normal tribune (Rp 275,000), normal festival (Rp 325,000)

25. Elton John (Big Daddy Entertainment Group)
Tanggal : Jumat, 18 November 2011
Venue : Sentul International Convention Center, Bogor
Tiket : TBA

26. Pitbull (Trilogy Live)
Tanggal : Senin, 28 November 2011
Venue : Kartika Expo, Balai Kartini
Tiket : TBA

27. Anthrax dan Hellyeah (Blade Indonesia)
Tanggal : 10 Desember 2011
Venue : Pantai Karnaval, Ancol
Tiket : Festival A presale (Rp 360,000), festival B presale (Rp 200,000)

28. Rod Stewart (Big Daddy Entertainment Group)
Tanggal : Selasa, 31 Januari 2012
Venue : Mata Elang Indoor Stadium, Ancol, Jakarta.
Tiket : TBA

Siksakubur Sedang Mengerjakan Album Mini


Sebagai cara untuk memperkenalkan dua personel baru.


Siksakubur (Foto: edoyism.blogspot.com)
Band death metal kenamaan asal Jakarta Timur, Siksakubur, tengah mempersiapkan materi baru untuk menindaklanjuti album Tentara Merah Darah yang dirilis 2010 lalu.

Pasca ditinggal tiga personel dari formasi album terakhir tersebut—vokalis Japra, pemain gitar Nyoman dan pemain drum Jangex—gitaris Andre Tiranda merasa Siksakubur perlu untuk merilis sebuah album mini guna memperkenalkan dua personel baru mereka, vokalis Asep (eks-Distrust) dan pemain drum Aditya Perkasa (eks-Funeral Inception).

“Sudah mulai [nulis materi untuk album baru] sih. Tapi mau rilis EP dulu buat memperkenalkan personel baru. Soalnya personel baru mesti ada rilisan,” ujar gitaris Andre Tiranda saat ditanyai Rolling Stone melalui Yahoo! Messenger pada Senin [8/8].

Album mini itu, menurut Andre, rencananya akan berisi lima atau enam lagu. “Masih tahap [bikin] musik. Tapi lirik sudah buat bagannya,” ujar Andre yang mengaku menulis semua lirik lagu untuk album mini tersebut sendirian. Belum ada kepastian kapan album mini tersebut akan dirilis.

Formasi terakhir Siksakubur adalah Asep (vokalis), Andre Tiranda (gitaris), Erwin (basis) dan Aditya Perkasa (drummer). Formasi ini baru saja menyelesaikan tur konser sembilan kota bertajuk Lima Belas Melibas Jawa-Bali Tour 2011 dalam rangka merayakan ulang tahun band ke-15.

Siksakubur terbentuk pada tahun 1996. Hingga kini telah merilis lima album penuh, yaitu: The Carnage (2001), Back to Vengeance (2002), Eye Cry (2003), Podium (2007) dan Tentara Merah Darah (2010).

Kenali, Pahami, dan Cintai Musik Metal




Saya menulis tulisan ini bukan sebagai pengamat musik, apalagi seorang kritikus musik. tetapi saya menulis tulisan ini hanyalah untuk menyuarakan rasa kepedulian saya terhadap realita-realita yang terjadi pada komunitas metal negeri ini, khususnya kota Jakarta, kota dimana saya lahir dan tinggal. Kondisi kota Jakarta semakin tidak terkendali, masalah kemacetan, banjir hingga cuaca ekstrim seolah tidak berhenti menggempur ibu kota kita yang konon lebih kejam dari ibu tiri ini.
Tidak sedikit dari anak muda kota ini yang membutuhkan sebuah “pelarian” untuk melupakan sejenak semua masalah yang mereka hadapi di tiap detik kehidupan mereka. Acara musik konon sudah menjadi salah satu “sarana” pelarian yang paling diminati. Beda kalangan tentu acara yang didatangi juga berbeda, bagi mereka yang rela menghabiskan uang orang tua demi meminum sebotol Jack Daniels bersama kerabat dekat di dalam ruangan sempit penuh tata cahaya dan diiringi musik dance gaya eropa dan kroni-kroninya, sudah tentu klub malam di seputaran kemang dan menteng lah yang mereka pilih. Tapi bagi mereka yang sudah muak dengan kemunafikan dari gengsi insan-insan ibukota yang setiap hari selalu menghantui kehidupan mereka, sudah tentu mereka memilih acara metal sebagai tempat pelarian.
Disinilah sebenarnya yang banyak salah kaprah, banyak dari mereka yang baru mengenal acara metal (walaupun tidak semua) hanya menjadikannya sebagai tempat pelarian dan ajang cari ribut, tanpa peduli dengan musik macam apa yang mereka dengar, lyric macam apa yang disampaikan pengisi acara kepada mereka. Dan yang lebih menyedihkannya lagi, sebagian besar diantara mereka hanya menunggu “jebolan” sebagaimana layaknya supporter sepak bola. Jika panitia tidak memberikan apa yang mereka inginkan, mereka tidak segan-segan memaksa, membuat onar atau apapun yang bisa membuat pihak panitia berubah pikiran dan mengizinkan mereka masuk tanpa bayar, alias gratis. Alhasil keributan pun sering kali tidak bisa dihindari dan aparat terkadang harus memberhentikan acara dengan paksa.
Mungkin bedasarkan fakta-fakta inilah pandangan khalayak luas terhadap komunitas metal selalu diidentikan dengan hal-hal yang cenderung kasar, urakan dan tidak berkelakuan baik, tidak ada yang bisa disalahkan, pandangan mereka terbentuk bedasarkan apa yang mereka lihat. Dan pandangan khalayak luas bukanlah hal yang mudah untuk dirubah. Tetapi sayangnya, mereka hanya menilai dari segelintir orang yang sama sekali tidak mengerti mengenai musik metal yang selalu menyuarakan isu-isu tentang perdamaian, kebebasan, kebersamaan dan kritik-kritik sosial politik. Saya yakin bahwa mereka yang merusak citra komunitas metal dimuka khalayak luas bukanlah anak metal sejati. Mereka hanyalah kumpulan bocah-bocah ABG berpakaian hitam-hitam penuh tatoo dan piercing yang datang ke acara metal bukan bedasarkan “panggilan jiwa” , tetapi hanya bedasarkan gensi yang mengatasnamakan eksistensi. Jika orang-orang seperti ini tidak pernah berubah, maka persepsi khalayak luas terhadap komunitas metal pun tidak akan pernah berubah pula.
“Insan-insan underground kita sudah banyak berubah” begitu tanggapan kawan saya Janger (bukan nama asli). “ dan sebenernya bukan komunitasnya yang salah menurut gue, tapi anak-anak yang baru kenal metal itu yang menurut gue harus lebih dewasa dulu” begitu tambahnya . Janger dan saya berselisih umur cukup jauh. Dia merupakan salah satu dari ribuan saksi hidup konser metallica di jakarta pada tahun 1993. Dan Janger juga memberikan beberapa kesaksian mengenai pengalaman pahitnya menjadi anak metal pada zamannya.
Kesaksian tersebut jelas tidak jauh berbeda dengan Kesaksian yang dipaparkan oleh Andre Tiranda (Siksa Kubur) dan Arian 13 (Seringai) Dalam film “Global metal” karya sutradara asal Kanada Scot McFadyen dan seorang antropologist Sam Dunn. Bedasarkan kesaksian mereka dalam film itu, seharusnya kita sudah bisa membayangkan betapa tidak bebasnya perkembangan musik metal dizaman orde baru masih mengendalikan kekuasaan penuh terhadap negri ini dan bagaimana sulitnya perjuangan mereka membangun komunitas metal setelah rezim orde baru digulingkan oleh gerakan mahasiswa pada tahun 1998. Kita juga bisa melihat betapa pedulinya mereka mengenai keadaan-keadaan sosial politik negri ini, yang selalu mereka suarakan melalui lyric-lyric dari musik yang mereka sajikan.
Dan saya semakin tidak bisa membayangkan betapa sakit hatinya mereka jika lyric yang mereka sudah tulis sepenuh hati tidak digubris oleh anak-anak yang mengaku anak metal itu. Kita yang sudah hidup dizaman reformasi ini seharusnya bersyukur atas kebebasan kita dalam berekspresi, terutama dalam musik, pada saat kini kita bisa bebas mengenakan pakaian hitam dan datang ke acara metal tanpa harus takut difinah sebagai simpatisan komunis.
Oleh karena itu, kita yang mengaku sebagai bagian dari komunitas metal harus menjalin kerja sama dengan individu-individu didalam komunitas tersebut terlebih dahulu jika ingin merubah pandangan khalayak luas. Berbeda dengan mengubah pandangan, menjalin kerjasama bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara yang sederhana, seperti membeli tiket jika ingin menonton acara yang akan diselenggarakan dan menonton serta memahami setiap band-band yang akan tampil. Moshing memang dianjurkan tetapi tidak di buntuti dengan perkelahian yang dipicu oleh hal-hal sepele, jika kerjasama yang baik sudah dapat kita lakukan, bukan hal yang mustahil pandangan khalayak luas terhadap komunitas metal juga akan berubah ke arah yang lebih positif. Bahkan mungkin komunitas metal dapat dijadikan standar kebersamaan yang patut dicontoh oleh setiap elemen masyarakat. Semoga saja (Diego batara = Mahasiswa Universitas Al-Azhar, Indonesia)

Album Tika and the Dissidents - The Headless Songstress / Head Records/Demajors







Dalam periode sesudah melepas album pertama Frozen Love Songs di tahun 2005, Kartika Jahja alias Tika sempat berpikir untuk mengakhiri kiprahnya dalam bermusik karena frustrasi. Untungnya Tika mengurungkan niat itu dan terus berkarya, karena The Headless Songstress adalah sebuah album yang setimpal dengan penantian lama dan jerih payah apa pun yang dilalui demi merealisasikannya. Diiringi band piawai bernama The Dissidents dan dibantu tim produser Iman Fattah dan Nikita Dompas, Tika melilitkan suaranya yang sensual pada 12 lagu yang melintas berbagai genre, termasuk jazz, swing dan bahkan musik mariachi pada "Polpot". Dibanding Frozen Love Songs yang lebih mengumbar keresahan usia awal 20-an, pada The Headless Songstress Tika le-bih banyak mengamati feno-mena di sekitarnya melalui lirik yang tajam, kreatif dan humoris, se-perti pada "Clausmophobia" yang membahas pengucilan kaum gay di masyarakat. Lalu "Ol Dirty Bastard", sebuah duet yang memukau antara Tika dan Anda, adalah kisah perselingkuh-an antara wanita muda dengan pria tua yang digambarkan secara jujur dan apa adanya. Singkat kata, tetap hadirnya Tika di dunia musik Indonesia adalah hal yang menguntungkan bagi dunia musik itu sendiri.

Panceg Dina Galur Homeless Crew Ujungberung Rebels





Ujungberung adalah sebuah kota kecamatan di Bandung bagian paling timur, terdapat di ketinggian 668 m di atas permukaan laut, berbatasan dengan Kecamatan Cibiru di timur, Kecamatan Arcamanik di barat, Kecamatan Cilengkrang Kabupaten Bandung di utara, dan Kecamatan Arcamanik di Selatan. Luasnya 1.035,411 Ha, dengan jumlah penduduk 67.144 jiwa. Sejak dulu, Ujungberung terkenal sangat kental dengan seni tradisionalnya, terutama seni bela diri benjang, pencak silat, angklung, bengberokan, dan kacapi suling.
Kultur kesenian rupanya tak lekang dari generasi muda Ujungberung walau Ujungberung kemudian dibom oleh kultur industri. Daya eksplorasi kesenian yang tinggi membuat tipikal seniman-seniman muda Ujungberung terbuka terhadap segala pengaruh kesenian. Salah satu yang kemudian berkembang pesat di Ujungberung selain seni tradisional adalah musik rock/metal. Berbicara mengenai hasrat musik ini, focus kita tentu saja akan tertuju pada komunitas metal tertua dan terkuat, Ujungberung Rebels.
Dapat dianggap, Kang Koeple (kakak Yayat-produser Burgerkill) dan Kang Bey (kakak Dani-Jasad) adalah generasi awal pemain band rock di Ujungberung. Pertengahan tahun 1980an hingga awal 1990an, mereka memainkan lagu-lagu rock semacam Deep Purple, Led Zeppelin, Queen, dan Iron Maiden selain juga menciptakan lagu sendiri. Era ini kultur panggung yang berkembang Ujungberung, dan juga di Bandung, adalah kultur festival. Band tandang-tanding di sebuah festival musik dan band yang menang akan masuk dapur rekaman. Kita mungkin masih ingat Rudal Rock Band, salah satu band rock yang lahir dan sukses dari kultur ini—dan kemudia mengispirasi banyak anak muda untuk emmainkan mwtal ayng dari hari ke hari semakin kencang saja.
Tahun 1990 di Ujungberung misalnya, Yayat mendirikan Orthodox bersama Dani, Agus, dan Andris. Orthodox memainkan Sepultura album Morbid Vision dan Schizophrenia. Sementara itu di Ujungberung sebelah barat, Sukaasih, berdiri Funeral dan Necromancy. Funeral digawangi Uwo, Agus, Iput, dan Aam. Mereka memainkan lagu-lagu Sepultura, Napalm Death, Terrorizer, dan lagu-lagusendiri. Sementara itu, Necromancy—Dinan, Oje, Punky, Andre, Boy—memainkan lagu-lagu Carcass dan Megadeth, selain juga menggeber lagu-lagu sendiri. Di Ujungberung sebelah timur, tepatnya di daerah Cilengkrang I, Tirtawening, berdiri Jasad yang digawangi Yulli, Tito, Hendrik, Ayi. Mereka membawakan lagu-lagu Metallica dan Sepultura. Sementara itu, di Cilengkrang II kawasan Manglayang, berdiri band Monster yang membawakan heavy metal ciptaan sendiri dengan motor gitaris Ikin, didukung Yadi, Abo, Yordan, Kenco, dan Kimung.
Yang unik, perkenalan para pionir ini berawal dari tren anak muda saat itu : main brik-brikan. Dinan (Necromancy) pertama kali kenal dengan Uwo-Agus (Funeral) dari jamming brik-brikan. Pun di kawasan Manglayang. Para personil Monster adalah para pecandu brik-brikan. Mereka berbincang mengenai musik, saling tukar informasi, dan akhirnya bertemu, membuat band, dan membangun komunitas. Selain brik-brikan, faktor kawan sesekolah juga menjadi stimulan terbentuknya sebuah band. SMP 1 Ujungberung—kini SMP 8 Bandung—menyumbangkan Toxic—Addy-Ferly-Cecep-Kudung—yang merupakan cikal bakal dari Forgotten. Band anak-anak SMP ini berdiri sekitar tahun 1991 atau 1992. Addy kita kenal sebagai vokalis Forgotten. Sementara Ferly adalah gitaris Jasad sekarang. Belum lagi band-band di SMA 1 Uungberung—kini SMA 24 Bandung—yang tak tercatatkan saking banyaknya.
Di antara band-band tersebut, band yang berhasil membangun jaringan pertemanan yang baik adalah Funeral dan Necromancy. Bersama kawan-kawan sesama penggila musik ekstrim dari seantero Bandung, mereka berkumpul di lantai 3 Bandung Indah Plaza (BIP) dan membentuk kelompok yang mereka namakan Bandung Death Brutality Area atau sering mereka sinfkat Badebah. Selain Funeral dan Necromancy, tercatat band Voila dan The Chronic yang juga termasuk ke dalam komunitas Badebah. Nama Badebah juga kemduian diadopsi menjadi sebuah program siaran di Radio Salam Rama Dwihasta yang dibawakan oleh Agung, Dinan, Uwo, Agus, dan Iput di Sukaasih, Ujungberung, tahun 1992. Program Badebah memutarkan lagu-lagu ekstrim, dari thrash metal, crossover, hingga death metal, dan grindcore—yang saat itu tentu masih asing di tengah dominasi hard rock, heavy metal, atau speed metal.

Homeless Crew
Kultur festival yang dirasa kurang bersahabat membuat gerah segelintir musisi muda. Dalam festival mereka harus memenuhui banyak syarat yang intinya adalah sama : menuntut band untuk menampilkan wajah sama, bermanis muka agar menang di depan sponsor atau produser. Hal itu memangkas semangat ekspresi rock/metal juga semangat terdalam dan manusiawi dalam diri seorang seniman untuk berkarya. Dengan kesadaran baru itu gelintiran musisi muda Ujungberung maju dan merangsek jalanan.

Di saat yang sama, generasi baru di bawah anak-anak Badebah mulai berkumpul dan membentuk kelompok pecinta metal ekstrim semacam Badebah. Mereka menamakan diri Bandung Lunatic Underground (BLU) yang didirikan secara kolektif oleh Ipunk, Romy, Gatot, Yayat, Dani, Bangke, dan lain-lain. Seperti halnya Badebah, BLU menampung banyak hasrat music dari metal, hardcore, hingga punk. Di bawah BLU, pengembangan jaringan pertemanan para pecinta metal semakin meluas saja. Music metal ekstrim juga semakin ramai dengan terbukanya GOR Saparua untuk pergeralan-pergelaran music ekstrim.
Di Ujungberung sendiri, perkembangan musik ekstrim didukung oleh Studio Palapa, sebuah studio music milik Kang Memet yang dikelola oleh duet maut Yayat dan Dani. Studio ini kemudian menjadi kawah candradimuka band-band Ujungberung hingga melahirkan band-band besar, kru-kru yang solid, dan musisi-musisi jempolan. Studio Palapa juga yang kemudian melahirkan rilisan-rilisan kaset pertama di Indonesia. Mereka merekam lagu-lagu dengan biaya sendiri, mendistribusikan sendiri, melakukan semua dengan spirit Do It Yourself. Dari sepuluh band independen di Indonesia yang tercatat Majalah Hai tahun 1996, tiga di antaranya berasal dari Ujungberung. Mereka adalah Sonic Torment, Jasad, dan Sacrilegious. Label dan perusahaan rekaman yang mereka kibarkan adalah Palapa Records.

Sayang dinamika ini berbanding terbalik dengan BLU. Tahun 1994, organisasi pecinta music ekstrim ini terpecah ketika scene metal semakin ramai. Setidaknya, kelompok ini terbagi tiga, yaitu Black Mass yang terdiri dari anak-anak black metal, Grind Ultimatum yang terdiri dari anak-anak grindcore, dan sisanya, kebanyakan anak-anak Ujungberung yang lebih terbuka dan inklusif dalam mengapresiasi music, membentuk Extreme Noise Grinding (ENG) awal tahun 1995. Yayat adalah tokoh sentral ENG.
Propaganda awal ENG ada tiga, yaitu membuat media komunitas musik metal bawahtanah, membuat pergelaran music metal sendiri, dan mebentuk kru yang mendukung performa band-band Ujungberung. Manifestasi dari propaganda media adalah berdirinya Revograms Zine yang dibentuk oleh Dinan pada April 1995 dengan tim redaksi yang terdiri dari Ivan, Kimung, Yayat, Dandan, Sule, Gatot. Manifestasi dari propaganda pergelaran sendiri band-band Ujungberung adalah digelarnya acara Bandung Berisik Demo Tour yang lalu dikenal sebagai Bandung Berisik I. Di acara ini lima belas band Ujungberung unjuk gigi, ditambah bintang tamu Insanity dari Jakarta. Tahun 2004 kelak, bandung Berisik IV di Stadion Persib dicatat oleh Time Asia sebagai pergelaran music bawahtanah terbesar di Asia setelah berhasil menyedot audiens sebanyak 25.000 metalhead dari seluruh Indonesia.
Sementara itu, manifestasi dari propaganda kru band adalah dengan terbentuknya Homeless Crew. Ini merupakan kelompok musisi-musisi muda yang aktif mempelajari seluk beluk sound system dan teknis pergelaran sebuah band dengan cara belajanr langsung menjadi kru band kawan-kawannya. Pada gilirannya, Homeless Crew tak Cuma berperan sebagai kru yang vital bagi sebuha band, tapi juga menjadi gaya hidup anti-mapan ala anak-anak Ujungberung yang menolak untuk “berumah”. Gaya hidup anti-mapan ini bukan hanya ada di alam pikiran anak-anak Ujungberung, namun benar-benar mereka amalkan dengan keluar rumah, bergabung dengan kelompok mereka untuk tinggal bersama di jalanan. Para pencetus Homeless Crew adalah Yayat, Ivan Scumbag, Kimung, Addy Gembel, dan tentu saja sang radikal, Dinan.
Ujungberung Rebels
Antara tahun 1995 hingga 1997, Homeless Crew semakin berkembang pesat. Setidaknya ada dua puluh band berdesakan hidup di jalanan Ujungberung dengan semangat juang yang tinggi. Seiring dengan penggarapan Bandung Berisik II, Homeless Crew berencana menghimpun kekuatan band-band mereka ke dalam satu kompilasi. Proyek ini dikomandoi sendiri oleh Yayat sehabis bandung Berisik II usai digelar. Ada enam belas band ikut serta mendukung kompilasi ini dan membiayai rekaman mereka secara swadaya. Mereka kemudian menamai kompilasi mereka Ujungberung Rebels. Istilah “rebels” digunakan karena apa yang mereka lakukan pada saat itu adalah memang sebuah pemberontakan. Bukan hanya pemberontakan pada scene music secara umum yang sangat didominasi music pop, tapi juga pemberontakan kepada pengkotak-kotakan music yang berujung pada perpecahan genre di scene bawahtanah Bandung. Melalui kompilasi ini, Homeless Crew bagai ingin menunjukkan wajah keragaman music yang ada di Ujugnberung. Dan memang tak cuma death metal dan grindcore hadir dalam kompilasi ini. Punk, gothic, dan hardcore ikut mewarnai kompilasi ini.

Kompilasi ini akhirnya dirilis Independen Records dengan tajuk Independen Rebels dengan nilai transaksi empat belas juta rupiah pada tahun 1998. Namun demikian, walau nama “Ujungberung Rebels” tak jadi dijadikan judul kompilasi, namun namanya tak lantas pudar. Ujungberung Rebels malah kemudian menjadi identitas baru bagi komunitas musik metal bawahtanah Ujungberung, berdampingan dengan nama Homeless Crew. Masa itu, jika memanggil Ujungberung Rebels maka identifikasi scene akan langsung tertuju pada Homeless Crew.
Dari keuntungan kompilasi Independen Rebels, Yayat kemudian mendirikan sebuah distro yang menampung hasil kreativitas anak-anak Ujungberung dan Indonesia pada umumnya, Distro tersebut ia namai Rebellion, bertempat di jl. Rumah Sakit Ujungberung. Kabarnya, Rebellion adalah distro kedua di Indonesia setelah Reverse Outfit. Belakangan,Rebellion pindah, bersinergi dengan Pisces Studio. Pisces adalah studio milik Dandan ketika Kang Memet akhirnya memutuskan menjual alat-alat band Studio Palapa, Februari 1997.
Sementara dinamika rilisan kaset menggila, begitu juga dengan zine dan media. Zine kedua setelah Revogram adalah Ujungberung Update. Mereka yang berada di balik Ujungberung Update adalah Addy Gembel, Amenk, dan Sule. Merekalah yang kemudian membuat istilah tren saat itu : Gogon, singkatan dari “Gosip-gosip Underground”. Setelah Ujungberung Update, kemudian lahir Crypt from the Abyss yang diasuh oleh Opick Dead, gitaris Sacrilegious saat itu, Loud n’ Freaks yang diasuh oleh Toto, penabuh drum Burgerkill, dan The Evening Sun yang diasuh Dandan sang drummer Jasad. Belakangan, tahun 2000an, Toto bersinergi dengan Eben membuat zine NuNoise, salah satu zine progresif yang mengkover pergerakan musik termutakhir. Selain itu, Toto juga secara intens menerbitkan newsletter bernama Pointless selama tahun 2003 hingga 2005. Zine lainnya yang fenomenal dan terus bergerak hingga kini adalah Rottrevore yang diasuh oleh Rio serta Ferly, gitaris Jasad, merupakan media propaganda musik metal. Belakangan, Rottrevore berkembang menjadi perusahaan rekaman khusus musik metal. Rottrevore dimiliki grinder Jakarta, Rio, tapi dikelola oleh anak-anak Ujungberung Rebels.

Baby Riots War Machine Squad, Grinding Punk Corporation, Cicaheum Hell Park
Baby Riots adalah sebutan anak-anak Ujungberung Rebels bagi pasukan tempur bentukan Butchex, pentolan band The Cruels dan Mesin Tempur. Tahun 1999 Ujungberung Rebels berkembang semakin pesat secara kualitas, kuantitas, dan totalitas. Saat itu juga mulai terasa konflik dan gesekan antara para metalhead kita dengan masyarakat sekitar. Ujungberung yang berkultur indsutri dan merupakan daerah peralihan yang tanggung—kampung bukan, kotapun bukan—melahirkan banyak juga komunitas lain yang serba tanggung dan kemudian lazim kita namakan preman. Mereka kurang senang melihat anak-anak Ujungberung dengan segala totalitasnya, wara-wiri di jalanan Ujungberung. Bentrokan dengan preman-preman pun semakin sering terjadi. Tak hanya itu, perkembangan di scene music yang semakin diwarnai premanisme juga semakin memperkokoh Homeless Crew Ujungberung Rebels untuk berbuat sesuatu. Dan sesuatu itu adalah dibentuknya Baby Riots War Machine Squad.

Baby Riots War Machine Squad adalah pasukan tempur Ujungberung Rebels yang setia membela kepentingan para “presiden metal” Ujungberung Rebels. Menurut Butchex, sang panglima, Baby Riots adalah campuran anak-anak jalanan Cicukang dan Cicaheum yang barbar dan tak memiliki hasrat lain selain bertempur. Baby Riots akan segera keluar sarang jika ada yang mengganggu para pionir Ujungberung. Untuk menjadi anggotanya tak mudah. Mereka akan dipantau oleh Butchex, sang komandan, dilihat dari heroisme mereka membela Ujungberung dan bila sudah terbukti mereka akan diberi kalung silet sebagai simbol keanggotaannya. Namun demikian, karena semakin liar dan tak terkendali, Butchex kemudian membubarkan Baby Riots.
Di saat yang bersamaan, gairah bermusik Butchex juga semakin membara ketika akhirnya menemukan hasrat musik yang selama ini terus ia bayangkan. Hasrat itu ia dapatkan ketika bandnya, The Cruels, digarap oleh musisi-musisi metal semacam Dani Jasad, OpikDead, dan Komenk. Bersama tiga metalhead inilah Butchex merumuskan music punk baru yang kental dengan aura metal dan grindcore, hingga akhirnya lahirlahalbum The Cruels, Hollow Horror tahun 2001. Dalam sampul bagian dalamnya, The Cruels menuliskan propaganda musik mereka “It’s a punk grinding time!” Secara tidak langsung, propaganda itu adalah proklamasi berdirinya sel baru yang tak kalah bahaya dari Ujugnberung Rebels, Grinding Punk Corporation (GPC). Setidaknya ada enam band yang menurut Butchex hadir di awal berdirinya GPC. Mereka adalah The Cruels, Bloodgush, Sedusa, Caravan of Anaconda, Pemberontak, dan Six Men from Egypt. Segera saja GPC berkembang ke seantero scene. GPC kemudian berkoalisi dengan Saraf Timur Squad Cicalengka dengan ikon-ikonnya seperti Tikus Kampung dan Punklung.
Ketika akhirnya Butchex bosan bermusik, ia membunuh bosan itu dengan bermain skateboard. Di scene ini, ia juga lalu membentuk sebuah kelompok pecinta skateboard yang kerap bermain skateboard di belakang Terminal Cicaheum Bandung sekitar tahun 2002 atau 2003. Karena begitu rawan bentrokan dengan preman-preman terminal serta begitu jalanannya tempat para skater ini bermain-main, Butchex menamakan kelompoknya, Cicaheum Hell Park (CHP). Belakangan, CHP juga sering berkolaborasi dengan Neverland Sakteboard yang terdiri dari bocah-bocan skater asuhan Pei dari Ujugnberung melalui program kampanye bermain lima belas menit bersama anak-anak dalam satu hari, Never Grow Up.
Bandung Death Metal Syndicate dan Sunda Underground
Pertengahan tahun 2000an, scene musik Indoensia dibombardir oleh emocore. Hampir semua panggung pergelaran didominasi oleh hasrat music ini, bagaikan tak pernah akan ada lagi panggung untuk death metal. Prihatin dengan fenimena ini, para pionir Ujungberung Rebels semakin intens membincangkan fenomena yang memprihatinkan ini. Death emtal akan tenggelam jika para pionir diam saja menandangi kudeta panggung emocore atas detah metal itu. Maka ketika tak ada lagi panggung dari orang lain untuk death metal, para pionir sepakat untuk mulai memikirkan bagaimana menggarap panggung sendiri yang mementaskan hanya death metal saja. Tiga pionir yang kemudian mengeksekusi hasrat tersebut adalah Man, Amenk, dan Okid. Mereka sepakat menggarap Bandung Death Fest tahun 2006 yang mementaskan band-band death metal Ujungberung, Bandung, dan Indonesia. Bandung Death Fest 2006 digelar dengan sukses di bawah kerja sebuah kolektif bernama Homeless Grind.
Tahun 2007, ketika proses persiapan bandung Death Fest II, Homeless Grind berganti nama menjadi Bandung Death Metal Syndicate (BDMS). Ada beberapa perubahan penting yang patut dicatat di sini. Yangpaling jelas adalah komitmen anak-anak Ujugnebrung Rebels yang semakin tinggi terhadap kebudayaan tradisional, dalam hal ini Kasundaan. Man saat itu membuat logo BDMS bergambar dua kujang yang saling bersilang dengan semboyan yang fenomenal Panceg Dina Galur. Komitmen Kasundaan juga dibuktikan dengan dimasukkannya pencak silat dan debus sebagai pertunjukan plus dalam Bandung Death Fest II. Saat ini pula BDMS mulai kenal dengan Kang Utun, salah satu aktivis lingkungan hidup dan Kasundaan yang kemudian semakin membukakan gerbang adat kepada para metalhead muda kita.
Masa inilah Ujungberung Rebels semakin dekat dengan kelompok-kelompok Kasundaan di Bandung. Mereka semakin sering menghadiri berbagai acara adat dari pabaru Sunda, Rarajahan, Tumpek Kaliwon, atau hanya kongkow-kongkow santai membincangkan berbagai hal ngalor-ngidul. Atas keikutsertaannya dalam berbagai acara adat, Ujungberung Rebels kemudian sering dijuluki juga sebagai Kelompok Kampung Adat Sunda Underground. Komitmen Kasundaan semakin menyala-nyala ketika akhirnya berdiri Karinding Attack yang beranggotakan Man, Amenk, Kimung, Jawish, Gustavo, Ari, dan Kimo selain juga Kang Utun, mang Engkus, dan kang Hendra yang mewakili kelompok adat Kasundaan.
Di sisi lain BDMS semakin nyata menunjukkan taringnya ketika berhasil dengan mansi dan kreatif berkolaborasi dengan pihak tentara ketika menggelar Bandung Death Fest III 9 Agustus 2008 yang memapu menyedot penonton hingga 15.000 metalhead muda. Fenomena yang sama juga terulang tanggal 17 Oktober 2009 ketika BDMS menggarap Bandung Death Fest IV kembali di Lapangan Yon Zipur. Patut dicatat pula, dua pergelaran terakhir itu adalah kolaborasi Ujungberung Rebels dengan scene komunitaas kreatif bandung yang termaktub dalam pergelaran bersama Helarfest 2008 dan Helarfest 2009.
Begundal Hell Club dan Bandung Oral History
Begundal Hell Club (BHC) berdiri tahun 2007, merupakan fansclub Burgerkill. Sejak berdirinya, klub ini mendapat sambutan yang sangat baik dari khalayak. Kini BHC tak hanya menyebar di Indonesia, tapi juga hingga Australia. BHC Australia juga yang berperan besar ketika Burgerkill akhirnya bisa tur di Australia barat awal tahun 2008. Eben sang kreator dan otak dari BHC berperan besar dalam mengembangkan klub ini. Berbagai acara beraura pendidikan komunitas telah digelar BHC sepanjang usia mereka yang baru seumur jagung. Kini BHC sedang berancang-ancang untuk membuat pergelaran khusus BHC dan juga kompilasi band-band BHC.
Aroma pendidikan komunitas yang lebih kental tercium dari kelompok riset Bandung Oral History (BOH). Kelompok ini berdiri Desember 2008, diprakarsai oleh Kimung dan Gustaff, mengkhususkan diri berkecimpung di riset sejarah Kota Bandung dengan metode sejarah lisan sebagai metode utama. Sejak berdiri, hingga kini, setidaknya ada dua puluh draft outline riset yang telah dihasilkan para periset. Beberapa draft tersebut adalah riset tentang GOR Saparua, Viking Persib, kiprah para wanita di scene bawahtanah Bandung, kiprah para orang tua di scene bawahtanah Bandung, sejarah Ripple, fenomena CD bajakan di Kota Bandung, gambaran umum komunitas kreatif di Bandung, sejarah kusen keluarga, biografi Priston sang anak jalanan, sejarah Benajng, sejarah Tajimalela di SMAN 1 Cileunyi, sejarah Kopi Aroma, sejarah Persib, sejarah band Sonic Torment, sejarah band Homicide, sejarah GMR FM, sejarah bandung eath Metal Syndicate, kiprah Tiger Association Bandung, fenomena All Star di scene indie Bandung, serta riset mengenai Ujungberung Rebels.
Bulan Februari 2009, BOH menggelar pameran hasil riset bersama mereka mengenai kompilasi-kompialsi yang ada di Kota bandung anatar tahun 1995 hingga 2008. Setidaknya ada tujuh puluh enam kompilasi yang mereka riset berdasarkan bimbingan Idhar dan Kimung. Kini setidaknya ada dua belas riset berkaitan dengan wajah Kota Bandung yang terus dilakukan oleh para periset muda BOH. Hasil riset BOH dipresentasikan tanggal 29 Oktober 2009 di Commonroom dalam acara Nu Substance Festival yang juga termaktub ke dalam Helarfest 2009.
Ekonomi Kreatif Ujungberung Rebels
Dinamika pergerakan Ujungberung Rebels semakin menggurita saja dari hari ke hari. Kini setidaknya ada tiga lahan garapan ekonomi kreatif yang berkembang di komunitas Ujungberung Rebels, yaitu fesyen, rekaman, dan literasi. Yang paling subur adalah indsutri fesyen. Setidaknya ada enam industri fesyen yang digagas para pentolan Ujungberung Rebels, mulai dari Media Graphic dan distro Chronic Rock yang dijalankan Eben, Distribute yang dijalankan Pey, Reek yang dijalankan Ferly dan Man, Melted yang dijalankan Amenk dan Andris, CV Mus yang dijalankan Mbie, serta Scumbag Premium Throath yang ini diteruskan Erick sepeninggal Ivan.
Di bidang industri rekaman, Ujungberung memiliki dua perusahaan rekaman yang sangat dinamis, Rottrevore Records yang dijalankan Rio dan Ferly serta Revolt! Records yang dijalankan Eben. Rottrevore bahkan memiliki media literasi berupa majalah metal kencang bernama Rottrevore Magazine. Pentolan Ujungberung lainnya yang aktif di dunia literasi adalah Iit dengan toko buku Omuniuum-nya serta Kimung dengan zine MinorBacaanKecil dan penerbitan Minor Books yang menerbitkan biografi Ivan, Myself : Scumbag Beyond Life and Death, sebuah buku fenomenal, bagian dari trilogi sejarah Ujungberung Rebels dan Bandung Underground.
Tentu selain tiga lahan garapan tersebut masih banyak yang lainnya seperti bisnis warnet yang dikelola Kudung atau toko musik atau sentra kuliner. Semua lahan garapan pentolan-pentolan anak-anak Ujungberung Rebels tersebut jelas membuka lebar perbaikan perekonomian minimal di kalangan internal Ujungberung Rebels sendiri, maksimal ya…mungkin membayarkan hutang Indonesia raya yang bejibun itu.
Segala pencapaian itu tak datang dengan sendirinya. Segala datang bersama daya konsistensi yang sangat tinggi dan idealisme yang teguh digenggam satu tangan, sementara tangan yang lain menghajar jalanan dengan senjata kreativitas. Tapi kunci dari segalanya adalah keteguhan prinsip. Panceg dina galur, tidak gamang menghadapi perubahan. Membaca segala perubahan sebagai kulit saja bukan sebuah inti, sehingga ketika harus menyesuaikan diri dengan perubahan tak lantas kehilangan diri tenggelam dalam euforia di permukaan.

Segala pencapaian itu juga harus dikelola dengan sinergi yang positif di antara lahan-lahan garapan kreativitas sehingga akan terus berkembang dan pada gilirannya menyumbangkan hal positif bagi masyarakat kebanyakan. Sebuah sentra bisnis dan pusat pengembangan budaya di Ujungberung pasti akan menjadi wadah yang menampung segala aspirasi dan hasil kreativitas mereka menuju totalitas yang paling maksimal. Mininal gedung konser yang di dalamnya terdapat juga youth center, dan pusat dokumentasi dan pengembangan riset sosial budaya yang memadai. Berangan-angan? Tidak juga! Panceg dina galur!

REVIEW KONSER PERPISAHAN MOCCA


Hall Basket A Senayan, Jakarta, 15 Juli 2011




Mocca (Foto: Muhammad Asranur)
Selama 12 tahun Mocca adalah band yang awet muda, selalu seperti menjadi permanen tetap usia pra-remaja dari segi musiknya, walau para anggotanya berusia 20-an awal ketika mendirikan band tersebut. Dalam diri Arina Ephipania Simangunsong, grup pop asal Bandung ini memiliki vokalis dengan sosok lebih ceria daripada anak balita dan tokoh kartun Disney. Bagaikan dongeng, Arina pun bertemu dengan pangerannya yang siap meminang dan membawanya pergi ke negeri impian atau dalam kasus ini, pria asal Amerika Serikat yang jatuh cinta pada musik Mocca di situs MySpace, berkorespondensi dengan Arina, lalu datang ke Indonesia dengan niat meminang Arina dan memboyongnya ke Long Beach, California.

Ini memang sebuah impian indah bagi jiwa romantis, tapi impian buruk bagi yang ingin menjalankan band dengan semua kegiatannya seperti latihan, rekaman dan main. Tak bisa berjalan karena vokalisnya akan berada di belahan dunia yang berbeda, tak ingin berjalan tanpanya, maka diadakanlah konser perpisahan untuk melepas kepergian Arina, sekaligus menandakan berakhirnya perjalanan Mocca untuk saat ini.

Entah kenapa konser terakhirnya diadakan di Jakarta dan bukan kota asal mereka, tapi itu bukan halangan bagi Swinging Friends -- sebutan penggemar Mocca -- untuk datang tak hanya dari Bandung, tapi juga Surabaya, Yogyakarta dan Malang, dan bahkan Malaysia serta Singapura. Tempat penyelenggaraan konser pun dipindah ke gelanggang Hall Basket A Senayan agar bisa menampung permintaan tiket yang membludak demi menghadiri pertunjukan yang spesial ini. Agar semakin istimewa, penampilan terakhir ini juga dimeriahkan oleh sederet bintang tamu dan pertunjukan kabaret yang terilhami oleh musik Mocca, yang memang sangat cocok sebagai soundtrack kabaret.

“Annabelle and the Music Box” menceritakan gadis yang memasuki dunia impian melalui kotak musik, di mana dia bertemu pria idamannya serta antagonis yang berusaha menggagalkan cinta mereka, dengan lagu-lagu Mocca sebagai pengantar ceritanya. Dengan tata panggung yang indah dan akting baik oleh grup kabaret Bosmat dari SMA 7 Bandung, “Annabelle and the Music Box” adalah konsep yang menarik di atas kertas, jika diadakan secara terpisah.

Namun berhubung digabungkan dengan konser perpisahan Mocca, terciptalah kesan bahwa para penyelenggara berusaha melakukan terlalu banyak. Tak bisa disalahkan niatnya untuk mempersembahkan sesuatu yang istimewa untuk terakhir kalinya. Tapi kuantitas tidak selalu sejalan dengan kualitas, dan adanya “Annabelle and the Music Box” membuat aspek-aspek lain dari konser terakhir Mocca terasa kurang berkesan. Pertama, Mocca di konser perpisahannya sendiri hanya berperan sebagai band pengiring cerita yang sedang diperagakan di sekeliling mereka. Kedua, para bintang tamu seperti Ade Paloh dan Ramondo Gascaro dari Sore serta Float tiba-tiba muncul untuk berkolaborasi dan pergi tanpa banyak basa-basi atau penjelasan kenapa mereka hadir di sana; hanya Endah N’ Rhesa yang mendapat keleluasaan untuk menambahkan improvisasi pada “Me & My Boyfriend”.

Belum lagi pilihan lagu yang kadang terasa asal-asalan (intro “Frantic”-nya Metallica termasuk yang masuk akal) sebagai pengiring kabaret di saat Mocca tidak bermain, serta jeda panjang antar babak yang diisi Ringgo Agus Rahman dan Soleh Solihun dari Rolling Stone yang bertugas untuk menjelaskan cerita tapi malah menjadi sesi lawak dadakan saat mereka terus bertanya ke panitia apakah sudah bisa masuk ke segmen acara yang berikutnya. Bisa jadi banyak penonton yang tak rela jika konser perpisahan Mocca berakhir seperti ini.

Lalu tibalah saat di mana segala kekurangan menjadi terlupakan. Di akhir kabaret, Mocca membawakan “Hyperballad”-nya Bjork dengan aransemen halus yang benar-benar menunjukkan kualitas Arina sebagai vokalis yang penuh penghayatan di balik gayanya yang kekanak-kanakan. Diiringi salju buatan yang jatuh dari atas dan koreografi oleh Bosmat, terciptalah sebuah momen yang sungguh membuat merinding. Jika itu adalah sebuah kompetisi nyanyi, maka penampilan Arina di lagu ini akan menjadikannya juara secara mutlak.

Baru setelah kabaret selesai, suasana konser perpisahan Mocca lebih terasa. Tanpa keharusan mengiringi skenario, gitaris Riko Prayitno bermain lebih lepas sampai berdiri di atas monitor panggung, ritme pemain bas Ahmad Pratama dan drummer Indra Massad terasa lebih nikmat, dan Arina terus memukau dengan suara indahnya, diselingi gaya komunikasinya yang menghibur saat memperkenalkan para personel Mocca dan musisi tambahannya di sela-sela lagu, atau bercanda dengan Aprilia Apsari dari White Shoes & the Couples Company, yang berduet dengan Arina pada “I Would Never” lalu menyanyikan “What If...” diiringi Mocca, sebelum Arina dan White Shoes & the Couples Company membawakan “Senandung Maaf” milik band tersebut.

“Saya ingin menyanyikan sebuah lagu wajib nasional, yang saya harap saya tidak menangis membawakannya,” katanya, sebelum melantunkan “Tanah Airku”-nya Ibu Sud diiringi piano sebagai tanda cintanya kepada negeri yang akan ditinggalkannya. Harapannya tak tercapai, karena air mata pun mengucur. Air mata semakin mengalir setelah lagu ke-24 sekaligus penutup konser “Life Keeps On Turning”, keempat personel Mocca memberi hormat dan disambut penonton yang berhamburan ke atas panggung untuk foto bersama dan memberi salam perpisahan. Walau konsernya tak sempurna, setidaknya kisah Mocca berakhir -- untuk saat ini -- dengan indah

(akhirnya) Album Kompilasi Jogja Istimewa Resmi Diluncurkan


Setelah sempat tertunda akhirnya album penanda generasi subkultur musik Yogyakarta dilepas ke publik



Jumat siang (19/11) beberapa penggiat scene musik Yogyakarta berkumpul di Kedai Kebun Forum (KKF) untuk meluncurkan album Jogja Istimewa. Album ini sendiri seperti tertulis dalam rilis pers yang diterima Rolling Stone ditujukan sebagai penanda jaman dan sebagai sebuah usaha pendokumentasian atas pencapaian-pencapaian yang dihasilkan oleh dunia musik subkultur Yogyakarta.
Kesepuluh musisi yang terlibat dalam album ini berasal dari beragam genre dan generasi. Mereka adalah Jogja Hip Hop Foundation, Serigala Malam, Armada Racun, Individual Life, Frau, Risky Summerbee and The Honeythief, Zoo feat Wukir, Cranial Incisored, DOM 65 dan Dubyouth.
Awalnya album ini akan diluncurkan pada 27 Oktober lalu namun karena kendala teknis dan erupsi Gunung Merapi maka rencana itupun tertunda sampai bulan november. Sebagai respon atas bencana itu sendiri album ini dipersembahkan, “Untuk mengenang semangat, ketulusan dan kesederhanaan juru kunci merapi Mbah Maridjan” pada sampul albumnya.
Lewat sebuah konferensi pers yang sederhana namun hangat Marzuki “Kill The DJ” Mohammad selaku produser, Wok The Rock dan Ajie Wartono selaku kurator menjelaskan konsep dan alasan tertundanya peluncuran album ini. “Kami merasa bahwa album adalah dokumentasi terbaik, karena ia berbentuk cakram padat dan akan terus ada. Sementara bila kita mengadakan sebuah konser atau event yang sifatnya besar paling lama pengaruhnya hanya bertahan enam bulan, setelah itu ya sudah pengaruhnya tak begitu terasa,” papar salah seorang personel Jogja Hip-Hop Foundation ini.
Sementara itu Wok The Rock salah satu kurator program ini menjelaskan tujuan album ini secara umum. “Kami ingin membawa band-band dalam kompilasi ini ke permukaan, karena selama ini apresiasi terhadap mereka terbatas, dengan album ini paling tidak band yang ada dalam kompilasi ini bisa diapresiasi secara lebih luas,” papar kurator yang juga pemilik netlabel Yes No Wave ini.
Marzuki kemudian menjelaskan rencana setelah album ini diluncurkan. “Kami lihat dulu efeknya selama sebulan, kalau memang positif dari penjualannya kami merencanakan akan ada showcase reguler dari band-band yang ada disini, showcase yang intens akan memberi pengaruh yang besar ketimbang mengadakan sesuatu yang gede-gedean tapi sifatnya tidak intens,” jelasnya.
Ia juga menekankan bahwa Jogja Istimewa bukanlah sebuah album yang sifatnya annual yang diadakan setiap beberapa tahun sekali. Menurutnya Jogja Istimewa lebih berkonsentrasi kepada pencatatan segala yang terjadi dalam scene musik subkultur Yogyakarta ketimbang harus dituntut diadakan sebagai sebuah album yang sifatnya tahunan.
Peluncuran album ini membuktikan scene musik Yogyakarta perlu mendapat perhatian lebih. Album ini juga menjadi penanda penting kalau kiblat musik negeri ini tak lagi berasal dari Jakarta atau Bandung semata. Sebagai pembuktian album ini bisa dideskripsikan dengan mengutip lirik lagu Jogja Hip Hop Foundation dalam album ini, “Jogja Istimewa untuk Indonesia”.

REVIEW ICEMA 2010: Penghargaan Bermartabat




Superman Is Dead menjadi band terfavorit, Efek Rumah Kaca menghasilkan album terbaik tahun ini.

“Setelah berkarir selama 32 tahun di musik, baru kali ini saya menerima award yang bermartabat,” ujar Fariz RM bangga saat menerima penghargaan khusus Lifetime Achievement dari atas panggung Indonesia Cutting Edge Music Awards (ICEMA) 2010 pada Minggu (18/7) malam lalu di Epicentrum Walk, Jakarta.

“Terima kasih kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan rock & roll bagi kita semua.... Pesan saya, kita boleh suka dengan lagu-lagu mancanegara, tapi kita harus bangga atas lagu-lagu bangsa sendiri,” imbuh Fariz yang malam itu tampak “gondrong” dengan kemeja merah menyala.

Fariz RM menerima penghargaan ini atas dedikasi dan kontribusi selama puluhan tahun bagi perkembangan musik Indonesia. Ia dianggap sebagai musisi pendobrak yang tidak pernah berhenti berproses kreatif dengan musisi-musisi muda hingga kini.

Malam puncak penganugerahan karya musik alternatif tahunan yang bersejarah karena baru pertama kalinya diadakan tanahair tersebut berlangsung sukses dan cukup meriah.

Kehebohan acara ini bahkan hingga mencatat rekor peringkat 5 trending topics selama 6 jam di Twitter. Tercatat tidak kurang 11.000 viewers dari seluruh dunia menyaksikan acara ini via Live Streaming dan 396,265 pengunjung yang berkunjung ke situs http://www.icema.co.id dalam kurun waktu 2 bulan saja.

Selain menampilkan berbagai kolaborasi artis yang menarik, ICEMA 2010 juga menyerahkan 3 trofi khusus, 9 trofi pendatang baru dan 20 trofi kepada artis-artis terfavorit yang telah dipilih secara online oleh 42.000 penggemar mereka masing-masing melalui platform Microsoft Windows Live.

“Dukungan penggemar setia menentukan ‘nasib’ seluruh nominator dan bagaimana mereka bisa bertahan hingga tahap akhir program ICEMA 2010. Publik saat ini sudah sedemikian kritis dan matang dalam memberikan apresiasi pada karya-karya musik, sesuai selera mereka,” cetus Denny Sakrie, pengamat musik senior yang juga Ketua Dewan Kategorisasi ICEMA 2010 saat konferensi pers acara.

Penghargaan terbanyak di ICEMA 2010 diraih oleh band Bali, Superman Is Dead yang menerima 3 trofi untuk kategori Favorite Punk/Hardcore Song, Favorite Album Artwork, Favorite Band, Group or Duo.

Penghargaan khusus Inspiring Artist ICEMA 2010 diberikan pula kepada band Bandung, PAS yang sekitar 16 tahun lalu telah memberikan inspirasi untuk bermusik secara mandiri bagi generasi musisi selanjutnya di tanahair dengan merilis album For Through The Sap. Yukie, vokalis PAS menerima penghargaan ini mewakili teman-temannya yang kebetulan berhalangan hadir.

Puncak penghargaan ditutup dengan penyerahan trofi The Best Album ICEMA 2010 bagi album Kamar Gelap dari Efek Rumah Kaca. Penghargaan ini diberikan tanpa melalui voting online melainkan hasil pilihan Dewan Kategorisasi ICEMA 2010 yang terdiri dari Denny Sakrie, Adib Hidayat (managing editor Rolling Stone Indonesia), Sandra Asteria (music director Trax FM), Eric Wiryanata (penulis dan pemilik DeathRockStar.info) dan Indra Ameng (kurator Ruang Rupa).

Acara yang sempat ngaret cukup lama ini dibuka dengan penampilan legenda indie pop lokal, Pure Saturday yang kemudian segera disusul dengan penampilan band metalcore yang telah melanglang buana ke negeri Kangguru, Burgerkill.

Beragam penampilan kolaborasi yang seru juga terjadi di acara ini dan cukup menjadi highlight. Kolaborasi Jiung, Yacko dan Gugun (dari Gugun Blues Shelter) yang secara ajaib memadukan blues, rap dengan gambang kromong cukup membuat para penonton terburai tawa. Begitu pula dengan kolaborasi ska-core Superglad dan The Authentics yang mengaransemen ulang nomor legendaris “Impresi” milik PAS dalam bentuk baru yang sangat menyegarkan.

Namun tiga kolaborasi yang paling berbahaya pada malam itu justru datang dari Notturno, Anda, Mian Tiara dan Leonardo yang mengaransemen ulang nomor klasik "Susie Bhelel" milik Fariz RM selaras dengan tema malam ini, cutting-edge. Kolaborasi unik dari Tika and The Dissidents, Kuno Kini, The Trees and The Wild juga menjadi highlight pada malam itu. Acara ICEMA 2010 ditutup dengan kolaborasi seru rock & roll/jazz/blues antara The Flowers, Adrian Adioetomo dengan Indra Lesmana membawakan single favorit “Rajawali”.

Berbeda dengan ajang penganugerahan musik lainnya yang kerap monoton, maka Soleh Solihun (editor Rolling Stone Indonesia) yang menjadi host ICEMA 2010 pada malam itu selama lebih kurang 4 jam menghibur para penonton dengan guyonan-guyonan cutting-edge khas dirinya yang cerdas sekaligus sarkas.

Namun Rolling Stone sempat mendengar beberapa penonton perempuan yang complain dengan gaya Soleh membawakan acara. Mereka berkomentar bahwa celotehan keras Soleh kemungkinan besar akan membuat para sponsor menarik dukungannya dari ajang penghargaan ini tahun depan. Sementara yang lainnya berpendapat bahwa ajang penghargaan ini menjadi kurang elegan akibat celotehan host yang kerap mencela para pemenang penghargaan.

Selain host yang tampak lepas kontrol dan membuat acara ini menjadi ngalor ngidul tidak karuan, kelemahan lainnya dari ajang ICEMA 2010 ini jatuh pada akustik ruangan yang sangat buruk sehingga sistem tata suara yang keluar dari seluruh pengisi acara bergaung sepanjang acara berlangsung. Epicentrum Walk ini memang sepertinya tidak didesain untuk menjadi venue konser atau yang sejenisnya.

Kondisi venue yang minus pendingin udara juga membuat para undangan yang tidak terlalu banyak hadir tersebut menjadi kegerahan. Selain itu posisi panggung pertunjukan dengan mimbar yang letaknya cukup jauh membuat fokus penonton seringkali terpecah.

Kelemahan lainnya ICEMA 2010 juga terletak pada para artis penerima penghargaan yang tidak mampu memberikan pidato yang “berisi” ala Fariz RM atau menghibur seperti Goodnight Electric. Kebanyakan mereka hanya mampu berbicara basa-basi seperti layaknya pidato kepala sekolah di setiap upacara awal pekan. Padahal salah satu highlight dan kejutan dari ajang penghargaan seperti ini biasanya juga hadir pada momen-momen pidato kemenangan tersebut. Mungkin sudah saatnya anak-anak indie ini belajar public speaking di John Robert Powers?


Daftar Pemenang Terfavorit ICEMA 2010:

1.Favorite Alternative Song:
“Kenakalan Remaja di Era Informatika” - Efek Rumah Kaca
2.Favorite World Music Song:
“Hello Sallamualaekum” - Tompi
3.Favorite Singer/Songwriter:
Adhitia Sofyan - “Adelaide Sky”
4.Favorite Rock Song:
“Money Making” - The S.I.G.I.T.
5.Favorite Reggae and Ska Song:
“Honey” - Shaggydog
6.Favorite Punk/Hardcore Song:
“Kuat Kita Bersinar” - Superman Is Dead
7.Favorite Pop Song:
“Pilihanku” - Maliq N D’Essentials
8.Favorite Metal Song:
“Manufaktur Replika Baptis” - Dead Squad
9.Favorite Comedy Song:
Jiung - “Nang Ning Nung – Versi Gambang Kromong”
10.Favorite Jazz Song:
“Mati Saja” - Barry Likumahuwa
11.Favorite Folk / Country Song:
“Menari” - Tigapagi
12.Favorite Electronics Song:
“Interval” - Goodnight Electric
13.Favorite Blues Song:
Gugun and Blues Shelter - “When I See U Again”
14.Favorite Emo Song:
“Torment” - Killing Me Inside
15.Favorite Hip Hop / R&B Song:
“Ku Ada Bagimu” - J. Flow
16.Kategori Favorite Dance Song:
DJ Riri Mestika - “Last Call”
17.Favorite Artwork from Album:
�“The Angels and The Outsider” - Superman Is Dead
18.Favorite Album Packaging:
“Mata Hati Telinga” - Maliq N D’Essentials
19.Favorite Solo Artis/Band:
Adhitia Sofyan
20.Kategori Favorite Band Group or Duo
Superman Is Dead

Efek Rumah Kaca Ganti Punk Rock dengan Folk di Album Ketiga





Efek Rumah Kaca (Foto: Facebook Group)
Seperti diberitakan sebelumnya, Efek Rumah Kaca masih merampungkan album ketiga mereka untuk menindaklanjuti Kamar Gelap yang dirilis 2008 silam. Lamanya jarak dari album kedua dan ketiga kali ini diakui oleh vokalis/gitaris Cholil salah satunya dipengaruhi oleh turun-naiknya kondisi kesehatan pemain bass Adrian Yunan Faisal karena penyakit mata retinitis pigmentosa yang ia derita.

Selain itu, Efek Rumah Kaca juga sedang mengejar aransemen yang berbeda dari dua album sebelumnya. “Dan itu berarti membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dua album terdahulu,” ungkap Cholil kepada Rolling Stone melalui email baru-baru ini.

Cholil telah mengungkapkan dalam album mendatang akan terdapat lagu-lagu yang “keluar dari standar aransemen ERK.” Oleh karenanya album tersebut akan menjadi lebih kompleks dengan enam lagu berdurasi panjang—delapan hingga sebelas menit—yang sesungguhnya merupakan gabungan dari dua sampai tiga lagu.

“Lagu yang ‘ngepop’ atau ringan sepertinya masih ada. Karena pada dasarnya ERK memang ingin musiknya ringan ketika didengarkan,” janji Cholil.

Band indie asal Jakarta yang terbentuk pada tahun 2001 itu memang dikenal sebagai band yang kerap memadukan banyak langgam musik ke dalam lagu-lagunya. Mulai dari pop, post-rock, shoegaze, hingga punk rock yang bisa terdengar jelas pada lagu “Mosi Tidak Percaya.”

Menurut Cholil, tempo di album ketiga mendatang akan sedikit lebih lambat dibandingkan album kedua. “Unsur punk rock akan digantikan oleh folk, selebihnya sama dengan album sebelumnya,” jelasnya.

Proses rekaman yang telah dimulai sejak awal 2010 hingga saat ini telah merampungkan bagian drum, bass, piano dan sebagian gitar. Sejauh ini musisi tamu yang ikut membantu adalah Muhammad Asranur, kibordis Fever To Tell yang juga seorang fotografer panggung. “Ya betul, fotografer yang kondang itu mengisi piano di salah satu lagu,” canda Cholil.

Band berpersonelkan Cholil Mahmud (vokalis/gitaris), Adrian Yunan Faisal (bassis) dan Akbar Bagus Sudibyo (pemain drum) itu sudah tidak lagi bernaung di bawah bawah Aksara Records yang resmi bubar pada akhir 2009 silam dan mendirikan label rekaman sendiri bernama Jangan Marah Records. “Sekarang pakai duit sendiri semua, kalau album sebelumnya kan pakai duit label baik Paviliun ataupun Aksara records,” kata Cholil lagi.

Namun, mereka tidak merasakan itu sebagai sebuah kesulitan berarti. “Untuk masalah produksi dan promosi kami memang sudah sering terlibat juga baik di album pertama maupun kedua, sehingga sekarang sudah tahu nantinya kami harus melakukan apa,” pungkasnya.

PASANG SURUT INDUSTRI MUSIK INDONESIA




Sebagai pemain gitar dari band yang tengah populer, Eross Candra banyak dikelilingi oleh penggemar cewek. Dan dia tahu betul bagaimana membangun koneksi antara proses kreatif sebagai musisi dengan belasan wajah cantik yang selalu mengerubutinya hampir setiap hari.
Sebuah hubungan timbal balik yang memberikan inspirasi lahirnya “Sephia”, salah satu hit yang melambungkan nama Sheila On 7 sebagai salah satu band pop paling diperhitungkan saat itu, 2000.
Tema sentral lagu ini mengisahkan seorang pria yang berpacaran dengan beberapa perempuan sekaligus. “Idenya dari aku karena punya banyak, he-he-he,” ungkap Eross tentang lagu yang semula berjudul “Sophia”, diambil dari nama merk televisi di sebuah hotel saat melakukan serangkaian tur. Sekadar mengingatkan Anda, lagu tersebut terdapat dalam album Kisah Klasik Untuk Masa Depan yang penjualannya berhasil menembus angka di atas dua juta keping.
Namun mereka tidak mereguk madu sukses itu sendirian. Penjualan album di atas angka satu juta keping juga dicapai oleh album Ningrat milik Jamrud, band rock dari Cimahi yang dimotori pemain gitar Aziz Mangasi Siagian dan pemain bas Ricky.
Bahkan jika diakumulasi dengan penjualannya yang terus bergerak hingga kini, “Total penjualan Ningrat bisa mencapai 1,5 juta keping,” kata Log Zhelebour, produser sekaligus pemilik Logiss Records. Album ini merupakan gebrakan Jamrud setelah tahun sebelumnya tertimpa musibah. Dua personelnya, gitaris Fitrah Alamsyah dan pemain drum Sandy Handoko, meninggal pada tahun yang sama. Alih-alih vakum dari kegiatan, Jamrud malah menghasilkan album baru yang meledak.

Langkah Sheila On 7 sebagai rising star sebenarnya sudah tercium ketika merilis album debut self-titled pada 1999 yang terjual 900.000 keping. Pada 2001, album ketiga 07 Des kembali menyedot perhatian meski tak selaris album kedua. Pihak Sony Music Indonesia menyebut angka 1,1 juta keping untuk penjualan fisik album 07 Des.
Rupanya ketika itu pasar mulai terpecah dengan kemunculan album kedua Padi, Sesuatu Yang Tertunda, yang berhasil terjual hingga 1,6 juta keping. Ini merupakan sukses lanjutan band asal Surabaya itu setelah album debut mereka melejitkan hits “Mahadewi” serta “Sobat”, bonus track yang diambil dari album kompilasi Indie Ten.

Deretan musisi yang albumnya terjual di atas satu juta keping bisa bertambah panjang. Namun satu hal jelas, meski nama-nama baru terus bermunculan, angka penjualan fisik saat itu tetap mampu bertahan di atas angka satu juta. Salah satu penyebabnya adalah pencapaian artistik masing-masing band yang berbeda satu sama lain. Masing-masing memiliki ciri khas.
Warna vokal Duta nan khas mampu memberi roh pada setiap lagu yang ia bawakan. Perhatikan pula tema selingkuh dalam “Sobat” milik Padi yang tetap disuarakan lewat sudut pandang lelaki jantan. Sound gitar Piyu turut memberi aksen bahwa mereka tak ingin bercengeng-cengeng. Demikian pula karakter cadas yang menyembur dari setiap lagu Jamrud. Musiknya tidak banyak menawarkan ornamen, namun terdengar simpel dan tegas. Mungkin karena itu corak permainan drum Herman dianggap lebih pas ketimbang Budhy Haryono, pemain drum yang pernah memperkuat formasi band tersebut ketika masih bernama Jam Rock.
“Budhy itu bagus tapi karakter pukulannya terlalu banyak bunga. Jamrud membutuhkan pemain drum yang bermain sederhana namun keras. Herman cocok untuk itu,” kata Aziz ketika mencoba membandingkan kedua pemain drum tersebut.

Pencitraan seperti itulah yang kini sulit ditemukan pada puluhan bahkan ratusan band baru yang setiap saat terus bermunculan. Sekali-kali cobalah Anda bangun pagi hari dan nonton program musik yang terdapat di hampir setiap stasiun televisi seperti Inbox, Dering, Dahsyat dan lain sebagainya. Di sana selalu muncul wajah baru. Jika merasa bingung dengan nama-nama band yang tengah beraksi saat itu, Anda tidak perlu minder karena bukan satu-satunya pemirsa yang kebingungan.

Kisah sukses Sheila On 7, Padi, mau pun Jamrud seperti membangunkan mimpi di kalangan anak muda untuk ramai-ramai melirik industri musik sebagai sektor formal yang sanggup menjanjikan harapan. Status sebagai musisi tiba-tiba saja menjadi terdengar mentereng. Band baru terus bermunculan. Sebagian mengikuti sukses nama-nama di atas, sebagian lagi tidak jelas juntrungannya karena lemah dalam motivasi, karena semata-mata tergoda booming sukses tersebut. Yang terakhir inilah tipikal musisi korban ambisi para orang tua yang menginginkan anak-anaknya terkenal, punya banyak uang, muncul di layar televisi dan menjadi buruan media massa.
Investasi ratusan juta perak untuk mengantar sang anak, yang sebenarnya tak cukup punya bakat, bukan lagi persoalan besar. Seorang produser yang kerap berhasil mengorbitkan pendatang baru bercerita bagaimana dirinya sering didatangi oleh para orang tua dengan membawa segepok uang sembari meminta agar anaknya dibuatkan album rekaman. “Yang penting anak saya bisa masuk televisi,” katanya.

Akan tetapi euforia atas tren penjualan album sejuta keping tak mampu menahan merosotnya jumlah penjualan fisik dari tahun ke tahun. Catatan dari ASIRI memperlihatkan pada tahun 2000 produksi legal mencapai 52, 502,569 dan produk ilegal 240,084,555, sementara pada 2001 pada saat Padi mengharu biru dengan Sesuatu Yang Tertunda, omset produk legal sebenar-nya sudah menurun hingga mencapai 44,031,698 dan produk ilegal meningkat jadi 290,813,051. Berbagai strategi pemasaran yang cermat dari para label sepertinya tak berdaya menghadapi perilaku culas pembajak.

Bulan September 2004 industri musik memperlihatkan gairah baru dengan masuknya era RBT (ringback tone) yang khusus menyasar pangsa pasar pengguna ponsel. Adalah Telkomsel yang pertama memperkenalkan bentuik baru ini dengan menggandeng Sony BMG Music Indonesia. “Kami adalah pionir dalam bisnis RBT saat itu. RBT tidak dibajak,” ujar Jan Djuhana, Senior A&R Director Sony Music Entertainment Indonesia.

Booming bisnis RBT yang dipelopori Telkomsel akhirnya menjadi hiruk pikuk dengan bermunculannya para pemain baru yang tak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Mereka antara lain ialah Indosat, Excelcomindo Pratama, Bakrie Telekom, Mobile 8 dan banyak lagi. Salah satu band yang melejit penjualan RBT-nya adalah Vagetoz dari Sony Music. Lagu-lagu band asal Sukabumi, Jawa Barat, itu didownload hingga delapan juta hit. “RBT Hijau Daun sampai sekarang bahkan sudah mencapai 10 juta,” tambah Jan Djuhana lagi.
Jumlah yang kurang lebih sama diperoleh band Armada, seperti diungkap oleh Rahayu Kertawiguna, pendiri Nagaswara Records. Sayang, Logiss Records, label yang membawahi Jamrud, Power Metal dan Kobe, terlambat merespons bisnis yang menjadi primadona ini. Buktinya, tak semua produk Logiss mencantumkan kode RBT di sampul belakang seperti yang umumnya produk yang banyak beredar.

“Pertama waktu itu aku sibuk tur sehingga tidak sempat mengurus RBT. Kedua, musik rock itu berapa sih jumlah pengunduhnya? Kalau sekarang aku pasang iklan RBT di televisi, itu karena ‘partisipasi’ saja, he-he-he,” kata Log. Sikap tak terlalu menggubris pesona RBT juga diperlihatkan Romulo Radjadin alias Lilo, pemain gitar KLa Project. Dalam jumpa pers peluncuran album baru Exellentia, ia menegaskan bahwa KLa Project tetap menjual album. RBT bagi mereka hanyalah sampingan.
Dengan serta merta booming RBT ini segera mempengaruhi perilaku konsumen musik. Mereka makin tidak tertarik membeli album fisik dan memilih ramai-ramai berlangganan RBT yang dianggap dapat lebih menghemat uang jajan. Sebagai contoh, pengguna kartu produk Telkomsel cukup merogoh Rp 9.000 perlagu perbulan.Bandingkan dengan harga satu album fisik yang berkisar antara Rp 25.000 hingga Rp 60.000.
Itu belum termasuk biaya transportasi si konsumen yang mendapat album yang diinginkan. RBT menjelma sebagai penyelamat roda industri musik yang semakin lunglai karena gempuran pembajak. Apalagi para operator akhirnya menawarkan varian dari bisnis konten musik ini seperti ring tone, truetone sampai full track download (FTD).

Namun di samping sebagai penyelamat, mengelembungnya bisnis RBT sebenarnya turut andil dalam menenggelamkan eksistensi bisnis fisik itu sendiri. Lihat saja, sebagian musisi makin malas bikin album penuh karena di samping telah terjadi perubahan perilaku pasar yang ditingkahi oleh merosotnya daya beli masyarakat, impian untuk membuat rekaman album sudah tidak lagi dianggap rasional.
Sekarang cukup dengan satu lagu, tanpa ada keharusan merilis bentuk fisik, keuntungan finansial telah melambai-lambai di depan mata. Akibatnya musisi, dengan restu para label, ramai-ramai merekam single. Album penuh yang seringkali merupakan representasi pencapaian artistik tidak lagi mendapat kedudukan terhormat. Jadi, ulah pembajak bukan lagi momok tunggal industri musik yang menggiring pada kebangkrutan. (Sumber ; Rolling Stones Indonesia)
[GK]

Review Konser Morbid Angel di Singapura


D Marquee, Downtown East, Singapura, 25 Mei 2011
Legenda death metal sukses guncang Singapura




Pertama kali mendengar bahwa Event Organizer Singapura yakni Cynical Sounds akan mendatangkan Morbid Angel, yang terlintas di benak adalah bagaimana belasan tahun lalu metalhead Indonesia mendengar berbagai mitos tentang Morbid Angel, salah satu originator death metal asal Tampa, Florida, itu. Mitos tersebut membuat ekspektasi menjadi menggebu di tanah Singapura. Salah satu yang cukup terkenal adalah mitos para personil Morbid Angel yang konon gemar bercengkerama di kuburan dan melakukan vandalisme terhadap makam orang. Ini membuat sosok bassist/vokal David Vincent dan lead guitarist Trey Azagthoth menjadi seolah monster mengerikan yang tak bersahabat.

Namun semenjak lagu pertama “Immortal Rites” digelegarkan saat konser, bayangan yang melekat belasan tahun tersebut seketika hancur akibat citra Morbid Angel 2011 yang cukup bertolak belakang. David Vincent dengan rambut hitam, busana yang sedikit terlihat terpengaruh industrial rock membuat saya berasumsi bahwa pengalamannya bermain band untuk band istrinya, Genitortures, masih menyisakan bekas. Kini David Vincent sekilas seperti Nikki Sixx versi death metal. Ia selalu komunikatif dengan penggemar mereka, sesekali tersenyum, dan kembali menggasak bas dengan keras. Hei, ia ternyata pria yang normal.

Malam itu Morbid Angel membawakan lagu-lagu dari berbagai album seperti “Maze of Torment” dari album debut mereka, Altar of Madness (1989), atau juga “ExistoVulgore” dari album yang baru mereka rilis, Illud Divinum Insanus (2011), dan segera bisa terasa bahwa suara vokal David Vincent total prima dengan growl berat namun masih sangat jelas terdengar artikulasi yang diucapkan. Sementara yang senantiasa headbang di sisi kirinya adalah Trey Azagthoth, dewa gitar (atau setan gitar?) yang membuktikan kepada crowd bahwa tidak percuma dirinya dianggap salah satu gitaris death metal terbaik yang dimiliki umat manusia. Solo-solo brutal yang diperdengarkannya bukan hanya menimbulkan kekaguman akan hal teknis, namun juga sukses menghembuskan hawa dingin, sinis dan evil. Ambiens yang tepat untuk tema lirik Morbid Angel yang memang menawarkan sisi mistik, antitesis dari religi, serta mitos sumeria kuno. Personel baru, Destructhor (gitar), tampil kalem sepanjang set. Yang menarik perhatian secara signifikan adalah cara Tim Yeung (drum) dalam bermain. Mantan drummer band metal Divine Heresy ini menjadi pemandangan yang mantap setelah berhasil bermain rapat dan keras, dengan pola death metal yang penuh akan hyperblast drumming, double kick drum yang merentet cepat seperti senapan mesin, namun mampu menjaga showmanship dengan berbagai gimmick keterampilan memutar stik drum, sehingga membuatnya terlihat seperti Tommy Lee dari Motley Crue yang nyasar bergabung ke dalam sebuah band brutal death metal.

Sebanyak 13 buah lagu Morbid Angel panjatkan ke para metalhead Singapura (yang juga cukup banyak dihadiri penonton Indonesia), di antaranya� adalah “Angel of Disease”, “Blasphemy” dan ditutup dengan “Chapel of Ghouls” sebelum silam ke belakang panggung, untuk kemudian muncul kembali demi encore. Dan terus terang crowd cukup kaget karena ternyata hanya satu buah lagu, yakni “God of Emptiness” yang menjadi encore. Setelah dikonfirmasi, ternyata venue yang terletak di lingkungan mal daerah Downtown East itu cukup berdekatan dengan pemukiman, hingga pada akhirnya event konser ini menerima komplain dari warga sekitar, mengakibatkan encore yang seharusnya terdiri dari enam lagu diperpendek menjadi satu lagu saja. Senyum sedikit terjadi karena terus terang kejadian macam ini sedikit mengingatkan pada konser-konser underground ibukota yang kadang bermasalah dengan izin aparat. Namun bukan berarti mereka tampil mengecewakan, karena para biang-biang death metal ini memang adalah yang terbaik di bidangnya hingga sajian Morbid Angel memang sudah lezat sejak awalnya. (Sumber ; Rolling Stones Indonesia)
[GK]

REVIEW: BURGERKILL - VENOMOUS / REVOLT RECORDS




Venomous bukan hanya sebuah album baru yang memamerkan musikalitas dan kemampuan aransemen yang mumpuni dari band metal asal Bandung ini. Sepuluh komposisi dalam album ini juga merupakan ketukan palu pengesahan suksesnya transisi dari era vokalis lama Ivan ‘Scumbag’ Firmansyah yang wafat tahun 2007. Kini setelah digantikan oleh Vicky vokalis baru mereka, Burgerkill 2011 lewat album barunya berhasil pamer berbagai kebolehan bermusik. Seperti pada “Age of Versus” yang seru menderu dengan hentakan double bass drumming. Atau tembang “Under The Scars” yang menunjukkan sisi khas mereka yang masih fasih merangsak diiringi tempo sedang, padat nan groovy yang penuh variasi ‘hitungan’ ketukan. Juga tak ketinggalan sisipan melodius yang menyeruakkan sensasi megah. Semua pameran serangan metal khas Burgerkill ini mengingatkan kekuatan yang selama ini membuat ‘racun’ mereka mudah untuk menyebar dan menular di pendengarnya. Berbicara perkembangan musik, bisa dibilang kini Burgerkill bukan hanya mengalami transisi, namun juga revitalisasi. Seperti adanya bagian-bagian growl yang ‘bernyanyi’ mengingatkan pada besutan vokal ala band metal macam Gojira. Atau tembang groovy metal yang kental blues ala Pantera seperti yang terlihat di “For Victory” juga merupakan sesuatu yang menyegarkan. Satu perubahan yang juga terasa adalah punahnya lirik depresif yang kerap menghias berbagai lagu di era Ivan Scumbag. Seolah trauma karena meneriakkan lirik bertema depresi dan kematian berujung kepada sebuah musibah, kini Burgerkill bergeser ke posisi nyaman meneriakkan lirik-lirik penuh kecaman serta geraman dengan api semangat. Semua elemen di album ini menunjukkan bahwa dengan semangat dan dedikasi yang berapi-api, Burgerkill kini berlipat ganda kian berbisa. (Sumber ; Rolling Stones Indonesia)
[GK]