Jumat, 19 Agustus 2011

PASANG SURUT INDUSTRI MUSIK INDONESIA




Sebagai pemain gitar dari band yang tengah populer, Eross Candra banyak dikelilingi oleh penggemar cewek. Dan dia tahu betul bagaimana membangun koneksi antara proses kreatif sebagai musisi dengan belasan wajah cantik yang selalu mengerubutinya hampir setiap hari.
Sebuah hubungan timbal balik yang memberikan inspirasi lahirnya “Sephia”, salah satu hit yang melambungkan nama Sheila On 7 sebagai salah satu band pop paling diperhitungkan saat itu, 2000.
Tema sentral lagu ini mengisahkan seorang pria yang berpacaran dengan beberapa perempuan sekaligus. “Idenya dari aku karena punya banyak, he-he-he,” ungkap Eross tentang lagu yang semula berjudul “Sophia”, diambil dari nama merk televisi di sebuah hotel saat melakukan serangkaian tur. Sekadar mengingatkan Anda, lagu tersebut terdapat dalam album Kisah Klasik Untuk Masa Depan yang penjualannya berhasil menembus angka di atas dua juta keping.
Namun mereka tidak mereguk madu sukses itu sendirian. Penjualan album di atas angka satu juta keping juga dicapai oleh album Ningrat milik Jamrud, band rock dari Cimahi yang dimotori pemain gitar Aziz Mangasi Siagian dan pemain bas Ricky.
Bahkan jika diakumulasi dengan penjualannya yang terus bergerak hingga kini, “Total penjualan Ningrat bisa mencapai 1,5 juta keping,” kata Log Zhelebour, produser sekaligus pemilik Logiss Records. Album ini merupakan gebrakan Jamrud setelah tahun sebelumnya tertimpa musibah. Dua personelnya, gitaris Fitrah Alamsyah dan pemain drum Sandy Handoko, meninggal pada tahun yang sama. Alih-alih vakum dari kegiatan, Jamrud malah menghasilkan album baru yang meledak.

Langkah Sheila On 7 sebagai rising star sebenarnya sudah tercium ketika merilis album debut self-titled pada 1999 yang terjual 900.000 keping. Pada 2001, album ketiga 07 Des kembali menyedot perhatian meski tak selaris album kedua. Pihak Sony Music Indonesia menyebut angka 1,1 juta keping untuk penjualan fisik album 07 Des.
Rupanya ketika itu pasar mulai terpecah dengan kemunculan album kedua Padi, Sesuatu Yang Tertunda, yang berhasil terjual hingga 1,6 juta keping. Ini merupakan sukses lanjutan band asal Surabaya itu setelah album debut mereka melejitkan hits “Mahadewi” serta “Sobat”, bonus track yang diambil dari album kompilasi Indie Ten.

Deretan musisi yang albumnya terjual di atas satu juta keping bisa bertambah panjang. Namun satu hal jelas, meski nama-nama baru terus bermunculan, angka penjualan fisik saat itu tetap mampu bertahan di atas angka satu juta. Salah satu penyebabnya adalah pencapaian artistik masing-masing band yang berbeda satu sama lain. Masing-masing memiliki ciri khas.
Warna vokal Duta nan khas mampu memberi roh pada setiap lagu yang ia bawakan. Perhatikan pula tema selingkuh dalam “Sobat” milik Padi yang tetap disuarakan lewat sudut pandang lelaki jantan. Sound gitar Piyu turut memberi aksen bahwa mereka tak ingin bercengeng-cengeng. Demikian pula karakter cadas yang menyembur dari setiap lagu Jamrud. Musiknya tidak banyak menawarkan ornamen, namun terdengar simpel dan tegas. Mungkin karena itu corak permainan drum Herman dianggap lebih pas ketimbang Budhy Haryono, pemain drum yang pernah memperkuat formasi band tersebut ketika masih bernama Jam Rock.
“Budhy itu bagus tapi karakter pukulannya terlalu banyak bunga. Jamrud membutuhkan pemain drum yang bermain sederhana namun keras. Herman cocok untuk itu,” kata Aziz ketika mencoba membandingkan kedua pemain drum tersebut.

Pencitraan seperti itulah yang kini sulit ditemukan pada puluhan bahkan ratusan band baru yang setiap saat terus bermunculan. Sekali-kali cobalah Anda bangun pagi hari dan nonton program musik yang terdapat di hampir setiap stasiun televisi seperti Inbox, Dering, Dahsyat dan lain sebagainya. Di sana selalu muncul wajah baru. Jika merasa bingung dengan nama-nama band yang tengah beraksi saat itu, Anda tidak perlu minder karena bukan satu-satunya pemirsa yang kebingungan.

Kisah sukses Sheila On 7, Padi, mau pun Jamrud seperti membangunkan mimpi di kalangan anak muda untuk ramai-ramai melirik industri musik sebagai sektor formal yang sanggup menjanjikan harapan. Status sebagai musisi tiba-tiba saja menjadi terdengar mentereng. Band baru terus bermunculan. Sebagian mengikuti sukses nama-nama di atas, sebagian lagi tidak jelas juntrungannya karena lemah dalam motivasi, karena semata-mata tergoda booming sukses tersebut. Yang terakhir inilah tipikal musisi korban ambisi para orang tua yang menginginkan anak-anaknya terkenal, punya banyak uang, muncul di layar televisi dan menjadi buruan media massa.
Investasi ratusan juta perak untuk mengantar sang anak, yang sebenarnya tak cukup punya bakat, bukan lagi persoalan besar. Seorang produser yang kerap berhasil mengorbitkan pendatang baru bercerita bagaimana dirinya sering didatangi oleh para orang tua dengan membawa segepok uang sembari meminta agar anaknya dibuatkan album rekaman. “Yang penting anak saya bisa masuk televisi,” katanya.

Akan tetapi euforia atas tren penjualan album sejuta keping tak mampu menahan merosotnya jumlah penjualan fisik dari tahun ke tahun. Catatan dari ASIRI memperlihatkan pada tahun 2000 produksi legal mencapai 52, 502,569 dan produk ilegal 240,084,555, sementara pada 2001 pada saat Padi mengharu biru dengan Sesuatu Yang Tertunda, omset produk legal sebenar-nya sudah menurun hingga mencapai 44,031,698 dan produk ilegal meningkat jadi 290,813,051. Berbagai strategi pemasaran yang cermat dari para label sepertinya tak berdaya menghadapi perilaku culas pembajak.

Bulan September 2004 industri musik memperlihatkan gairah baru dengan masuknya era RBT (ringback tone) yang khusus menyasar pangsa pasar pengguna ponsel. Adalah Telkomsel yang pertama memperkenalkan bentuik baru ini dengan menggandeng Sony BMG Music Indonesia. “Kami adalah pionir dalam bisnis RBT saat itu. RBT tidak dibajak,” ujar Jan Djuhana, Senior A&R Director Sony Music Entertainment Indonesia.

Booming bisnis RBT yang dipelopori Telkomsel akhirnya menjadi hiruk pikuk dengan bermunculannya para pemain baru yang tak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Mereka antara lain ialah Indosat, Excelcomindo Pratama, Bakrie Telekom, Mobile 8 dan banyak lagi. Salah satu band yang melejit penjualan RBT-nya adalah Vagetoz dari Sony Music. Lagu-lagu band asal Sukabumi, Jawa Barat, itu didownload hingga delapan juta hit. “RBT Hijau Daun sampai sekarang bahkan sudah mencapai 10 juta,” tambah Jan Djuhana lagi.
Jumlah yang kurang lebih sama diperoleh band Armada, seperti diungkap oleh Rahayu Kertawiguna, pendiri Nagaswara Records. Sayang, Logiss Records, label yang membawahi Jamrud, Power Metal dan Kobe, terlambat merespons bisnis yang menjadi primadona ini. Buktinya, tak semua produk Logiss mencantumkan kode RBT di sampul belakang seperti yang umumnya produk yang banyak beredar.

“Pertama waktu itu aku sibuk tur sehingga tidak sempat mengurus RBT. Kedua, musik rock itu berapa sih jumlah pengunduhnya? Kalau sekarang aku pasang iklan RBT di televisi, itu karena ‘partisipasi’ saja, he-he-he,” kata Log. Sikap tak terlalu menggubris pesona RBT juga diperlihatkan Romulo Radjadin alias Lilo, pemain gitar KLa Project. Dalam jumpa pers peluncuran album baru Exellentia, ia menegaskan bahwa KLa Project tetap menjual album. RBT bagi mereka hanyalah sampingan.
Dengan serta merta booming RBT ini segera mempengaruhi perilaku konsumen musik. Mereka makin tidak tertarik membeli album fisik dan memilih ramai-ramai berlangganan RBT yang dianggap dapat lebih menghemat uang jajan. Sebagai contoh, pengguna kartu produk Telkomsel cukup merogoh Rp 9.000 perlagu perbulan.Bandingkan dengan harga satu album fisik yang berkisar antara Rp 25.000 hingga Rp 60.000.
Itu belum termasuk biaya transportasi si konsumen yang mendapat album yang diinginkan. RBT menjelma sebagai penyelamat roda industri musik yang semakin lunglai karena gempuran pembajak. Apalagi para operator akhirnya menawarkan varian dari bisnis konten musik ini seperti ring tone, truetone sampai full track download (FTD).

Namun di samping sebagai penyelamat, mengelembungnya bisnis RBT sebenarnya turut andil dalam menenggelamkan eksistensi bisnis fisik itu sendiri. Lihat saja, sebagian musisi makin malas bikin album penuh karena di samping telah terjadi perubahan perilaku pasar yang ditingkahi oleh merosotnya daya beli masyarakat, impian untuk membuat rekaman album sudah tidak lagi dianggap rasional.
Sekarang cukup dengan satu lagu, tanpa ada keharusan merilis bentuk fisik, keuntungan finansial telah melambai-lambai di depan mata. Akibatnya musisi, dengan restu para label, ramai-ramai merekam single. Album penuh yang seringkali merupakan representasi pencapaian artistik tidak lagi mendapat kedudukan terhormat. Jadi, ulah pembajak bukan lagi momok tunggal industri musik yang menggiring pada kebangkrutan. (Sumber ; Rolling Stones Indonesia)
[GK]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar