Jumat, 19 Agustus 2011

REVIEW KONSER PERPISAHAN MOCCA


Hall Basket A Senayan, Jakarta, 15 Juli 2011




Mocca (Foto: Muhammad Asranur)
Selama 12 tahun Mocca adalah band yang awet muda, selalu seperti menjadi permanen tetap usia pra-remaja dari segi musiknya, walau para anggotanya berusia 20-an awal ketika mendirikan band tersebut. Dalam diri Arina Ephipania Simangunsong, grup pop asal Bandung ini memiliki vokalis dengan sosok lebih ceria daripada anak balita dan tokoh kartun Disney. Bagaikan dongeng, Arina pun bertemu dengan pangerannya yang siap meminang dan membawanya pergi ke negeri impian atau dalam kasus ini, pria asal Amerika Serikat yang jatuh cinta pada musik Mocca di situs MySpace, berkorespondensi dengan Arina, lalu datang ke Indonesia dengan niat meminang Arina dan memboyongnya ke Long Beach, California.

Ini memang sebuah impian indah bagi jiwa romantis, tapi impian buruk bagi yang ingin menjalankan band dengan semua kegiatannya seperti latihan, rekaman dan main. Tak bisa berjalan karena vokalisnya akan berada di belahan dunia yang berbeda, tak ingin berjalan tanpanya, maka diadakanlah konser perpisahan untuk melepas kepergian Arina, sekaligus menandakan berakhirnya perjalanan Mocca untuk saat ini.

Entah kenapa konser terakhirnya diadakan di Jakarta dan bukan kota asal mereka, tapi itu bukan halangan bagi Swinging Friends -- sebutan penggemar Mocca -- untuk datang tak hanya dari Bandung, tapi juga Surabaya, Yogyakarta dan Malang, dan bahkan Malaysia serta Singapura. Tempat penyelenggaraan konser pun dipindah ke gelanggang Hall Basket A Senayan agar bisa menampung permintaan tiket yang membludak demi menghadiri pertunjukan yang spesial ini. Agar semakin istimewa, penampilan terakhir ini juga dimeriahkan oleh sederet bintang tamu dan pertunjukan kabaret yang terilhami oleh musik Mocca, yang memang sangat cocok sebagai soundtrack kabaret.

“Annabelle and the Music Box” menceritakan gadis yang memasuki dunia impian melalui kotak musik, di mana dia bertemu pria idamannya serta antagonis yang berusaha menggagalkan cinta mereka, dengan lagu-lagu Mocca sebagai pengantar ceritanya. Dengan tata panggung yang indah dan akting baik oleh grup kabaret Bosmat dari SMA 7 Bandung, “Annabelle and the Music Box” adalah konsep yang menarik di atas kertas, jika diadakan secara terpisah.

Namun berhubung digabungkan dengan konser perpisahan Mocca, terciptalah kesan bahwa para penyelenggara berusaha melakukan terlalu banyak. Tak bisa disalahkan niatnya untuk mempersembahkan sesuatu yang istimewa untuk terakhir kalinya. Tapi kuantitas tidak selalu sejalan dengan kualitas, dan adanya “Annabelle and the Music Box” membuat aspek-aspek lain dari konser terakhir Mocca terasa kurang berkesan. Pertama, Mocca di konser perpisahannya sendiri hanya berperan sebagai band pengiring cerita yang sedang diperagakan di sekeliling mereka. Kedua, para bintang tamu seperti Ade Paloh dan Ramondo Gascaro dari Sore serta Float tiba-tiba muncul untuk berkolaborasi dan pergi tanpa banyak basa-basi atau penjelasan kenapa mereka hadir di sana; hanya Endah N’ Rhesa yang mendapat keleluasaan untuk menambahkan improvisasi pada “Me & My Boyfriend”.

Belum lagi pilihan lagu yang kadang terasa asal-asalan (intro “Frantic”-nya Metallica termasuk yang masuk akal) sebagai pengiring kabaret di saat Mocca tidak bermain, serta jeda panjang antar babak yang diisi Ringgo Agus Rahman dan Soleh Solihun dari Rolling Stone yang bertugas untuk menjelaskan cerita tapi malah menjadi sesi lawak dadakan saat mereka terus bertanya ke panitia apakah sudah bisa masuk ke segmen acara yang berikutnya. Bisa jadi banyak penonton yang tak rela jika konser perpisahan Mocca berakhir seperti ini.

Lalu tibalah saat di mana segala kekurangan menjadi terlupakan. Di akhir kabaret, Mocca membawakan “Hyperballad”-nya Bjork dengan aransemen halus yang benar-benar menunjukkan kualitas Arina sebagai vokalis yang penuh penghayatan di balik gayanya yang kekanak-kanakan. Diiringi salju buatan yang jatuh dari atas dan koreografi oleh Bosmat, terciptalah sebuah momen yang sungguh membuat merinding. Jika itu adalah sebuah kompetisi nyanyi, maka penampilan Arina di lagu ini akan menjadikannya juara secara mutlak.

Baru setelah kabaret selesai, suasana konser perpisahan Mocca lebih terasa. Tanpa keharusan mengiringi skenario, gitaris Riko Prayitno bermain lebih lepas sampai berdiri di atas monitor panggung, ritme pemain bas Ahmad Pratama dan drummer Indra Massad terasa lebih nikmat, dan Arina terus memukau dengan suara indahnya, diselingi gaya komunikasinya yang menghibur saat memperkenalkan para personel Mocca dan musisi tambahannya di sela-sela lagu, atau bercanda dengan Aprilia Apsari dari White Shoes & the Couples Company, yang berduet dengan Arina pada “I Would Never” lalu menyanyikan “What If...” diiringi Mocca, sebelum Arina dan White Shoes & the Couples Company membawakan “Senandung Maaf” milik band tersebut.

“Saya ingin menyanyikan sebuah lagu wajib nasional, yang saya harap saya tidak menangis membawakannya,” katanya, sebelum melantunkan “Tanah Airku”-nya Ibu Sud diiringi piano sebagai tanda cintanya kepada negeri yang akan ditinggalkannya. Harapannya tak tercapai, karena air mata pun mengucur. Air mata semakin mengalir setelah lagu ke-24 sekaligus penutup konser “Life Keeps On Turning”, keempat personel Mocca memberi hormat dan disambut penonton yang berhamburan ke atas panggung untuk foto bersama dan memberi salam perpisahan. Walau konsernya tak sempurna, setidaknya kisah Mocca berakhir -- untuk saat ini -- dengan indah

2 komentar:

  1. sayang, padahal mocca telah memberi tambahan warna musik selama ini

    "I Remember" , nice song and i'll remember u, mocca

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya bener, tapi dalam waktu dekat kayaknya bakal balik lagi....katanye mereka akan tampil di radioshow dalam waktu dekat

      Hapus